Dalam kesibukan dunia pendidikan hari ini, kita sering terjebak pada rutinitas—mengajar, menilai, mengejar target akademik. Namun, di balik semua aktivitas itu, ada sesuatu yang lebih dalam dan tak boleh diabaikan: cinta. Cinta yang bukan sekadar emosi, tetapi kekuatan ruhani yang menghidupkan. Pendidikan sejati dalam pandangan Al-Qur’an tak hanya mengisi kepala, tetapi juga menyentuh hati dan membentuk akhlak.
Al-Qur’an mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses tazkiyah—penyucian diri, penanaman nilai, dan pembangkitan fitrah ilahiah manusia. Dalam proses itu, cinta menjadi inti yang menggerakkan dan menyambungkan manusia dengan Tuhannya. Ia bukan hanya tentang pengetahuan, tapi tentang kasih, kesabaran, dan kelembutan dalam membimbing.
Pendidik dalam Islam bukan sekadar penyampai materi, melainkan penjaga cahaya. Dan untuk bisa menerangi orang lain, ia harus terlebih dahulu terhubung dengan sumber cahaya: Allah. Maka, dibutuhkan sebuah ruang dalam diri dan rumahnya—mihrab ruhani—tempat jiwa bertemu dan bercakap dengan Sang Pemberi Cinta.
Kita belajar dari Rasulullah ﷺ yang sebelum menerima wahyu, biasa menyendiri di Gua Hira. Ia menjauh dari hiruk-pikuk kota, memilih sunyi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di sana, beliau tidak mengajar siapa pun. Beliau sedang belajar memahami dunia dari dalam dirinya. Gua itu adalah tempat perenungan, persiapan jiwa, dan percakapan batin yang paling jujur. Itulah mihrab pertamanya.
Hari ini, pendidik juga membutuhkan “gua” semacam itu. Tak perlu pergi ke gunung; cukup satu sudut kecil di rumah. Ruang itu bisa menjadi mihrab: tempat untuk berdoa, bermuhasabah, menata niat, dan menumbuhkan cinta ilahi dalam hati. Mihrab ini bukan sekadar arsitektur, tapi ruang spiritual yang hidup dan terus menyala. Dari mihrab itu, seorang pendidik akan membawa keluar energi yang berbeda—lebih sabar, lembut, dan penuh empati dalam mengajar.
Cinta yang hidup dalam hati akan tampak dalam sikap sehari-hari. Pendidik yang hatinya terisi cinta ilahi akan menatap murid-muridnya bukan sebagai objek yang harus dibentuk, tetapi sebagai amanah yang harus dirangkul. Ia akan mengajar bukan hanya dengan mulut, tetapi juga dengan teladan. Ia akan bersabar bukan karena tuntutan profesional, tetapi karena cinta telah melembutkan hatinya.
Al-Qur’an mengisyaratkan betapa agungnya cinta antara manusia dan Tuhannya:
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya…(QS. Al-Mā’idah: 54)
Ayat ini menunjukkan bahwa cinta kepada Allah bukan hanya berawal dari kehendak manusia, tapi lebih dahulu merupakan anugerah dari-Nya. Hanya hati yang bersih dan jiwa yang terhubung pada mihrabnya yang mampu menerima cinta ini.
Ketika rumah pendidik menjadi tempat hadirnya cinta ilahi, maka cinta itu akan mengalir keluar—kepada peserta didik, keluarga, tetangga, bahkan kepada makhluk lain. Ia tidak hanya menjadi guru di kelas, tetapi juga rahmat bagi lingkungan sekitarnya. Ia penyayang terhadap anak-anak, peduli pada kaum lemah, dan bertanggung jawab pada alam.
Seringkali, kita membayangkan reformasi pendidikan harus dimulai dari kebijakan, kurikulum, atau teknologi. Padahal, yang lebih mendasar adalah ruhnya. Jika hati para pendidik dipenuhi cinta, maka seluruh proses pendidikan akan berubah wajahnya—lebih manusiawi, lebih membumi, dan lebih menyentuh.
Membangun mihrab cinta tidak memerlukan banyak biaya. Ia hanya butuh kesadaran. Satu waktu sunyi untuk bertafakur. Satu sajadah untuk bersujud penuh rasa syukur. Satu doa yang dipanjatkan dengan hati jujur. Itulah awal mula lahirnya pendidikan yang menghidupkan, bukan sekadar mengajarkan.
Pendidikan yang bersumber dari cinta akan melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tapi juga matang secara spiritual. Mereka bukan hanya tahu banyak, tapi juga mencintai kebaikan, menyebarkan kasih, dan menjaga kehidupan. Maka, mari kita mulai dari rumah. Mari hidupkan kembali mihrab cinta di sudut-sudut paling tenang dalam hidup kita. Sebab dari situlah akan lahir cahaya yang akan menerangi ruang-ruang pendidikan kita—dengan sabar, dengan kasih, dan dengan cinta.