Tahun 2045 menjadi landmark sejarah Indonesia, usia satu abad kemerdekaan. Di atas panggung “Indonesia Emas”, negeri ini bercita-cita menjadi negara maju, adil, makmur, dan berdaya saing global. Namun pertanyaan mendasarnya: apakah cita-cita itu dapat dicapai tanpa mereformasi sistem pendidikan yang selama ini terlalu kognitif dan abai terhadap aspek afektif? Dalam konteks inilah, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam pada 2025, menjadi sinyal kuat bahwa reformasi hukum pendidikan nasional tidak bisa ditunda lagi. Dan yang mengejutkan reformasi itu dimulai dari nilai yang paling sederhana sekaligus paling revolusioner yaitu CINTA.
Di balik prestasi akademik, Indonesia masih menghadapi “darurat kemanusiaan” dalam pendidikan. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa sepanjang 2024, ada 394 kasus kekerasan di sekolah, mulai dari perundungan, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual. Ironisnya, sekolah yang semestinya menjadi ruang aman justru menjadi medan kekuasaan yang sering kali menormalisasi kekerasan dengan dalih kedisiplinan.
Padahal, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah menyatakan bahwa “Anak di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan...”. Kenyataannya? Banyak guru belum dibekali dengan pendekatan pengajaran berbasis kasih sayang. Di titik inilah regulasi hukum pendidikan tampak ompong, ia mengatur perlindungan, tetapi belum mengakar pada pola pembelajaran, KBC menjadi jawabannya.
Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar wacana utopis. Ia disusun berdasarkan fondasi filosofis (ontologi-cinta sebagai dasar hidup), epistemologis (belajar sebagai proses penuh makna), dan aksiologis (pendidikan sebagai etika kasih). Kurikulum ini juga berakar kuat pada amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat (3): “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia…”
KBC hadir mengisi celah antara idealitas hukum pendidikan dengan praktik riil di lapangan. Di tengah dominasi pendidikan yang mengedepankan ranking dan nilai ujian, KBC menempatkan cinta sebagai pusat dari segala proses belajar. Cinta di sini bukanlah romantisme, tetapi keberanian untuk memahami murid sebagai manusia utuh: punya luka, punya harapan, dan pantas diperlakukan dengan kasih.
Relevansi KBC dalam hukum pendidikan nasional tidak hanya bersifat teoritis, tetapi sangat solutif jika diintegrasikan dalam sistem regulasi. Ada beberapa solusi konkret yang dapat dijadikan arah kebijakan, diantaranya Amendemen Terbatas terhadap UU Sisdiknas
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang perlu memasukkan pasal eksplisit tentang pendidikan berbasis nilai kasih sayang dan anti-kekerasan. Hal ini sejalan dengan prinsip hak anak dan pendidikan humanistik UNESCO. Instrumen Hukum Teknis melalui Peraturan Menteri, dimana Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dan Kementerian Agama dapat mengeluarkan Peraturan Bersama tentang Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta di Satuan Pendidikan, baik madrasah maupun sekolah umum. Regulasi ini harus mengatur pelatihan guru, asesmen karakter, dan panduan anti-perundungan. Wajib Pelatihan “Legal-Empatik” untuk Guru karena
Guru bukan hanya pendidik, tetapi agen hukum di lingkungan sekolah. Maka, pelatihan berbasis nilai (legal-empatik pedagogy) harus dijadikan prasyarat sertifikasi guru. Mereka harus mengerti bahwa kekerasan verbal atau diskriminasi bisa masuk dalam kategori pelanggaran hukum dan HAM. Dan Lembaga Pengawasan Kurikulum Humanis. Dibutuhkan satu lembaga pengawas kurikulum yang tidak hanya menilai kelulusan siswa, tetapi juga mengaudit iklim psikososial sekolah. Lembaga ini akan bekerja sama dengan KPAI, Komnas HAM, dan komunitas pemerhati anak.
Reformasi hukum pendidikan tidak akan berhasil jika tidak menempatkan cinta sebagai ruh konstitusi. Nilai-nilai cinta sangat erat dengan prinsip-prinsip Pancasila: kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, dan keadilan sosial. Pancasila tanpa cinta hanyalah doktrin; tetapi cinta yang dibumikan dalam kurikulum akan menghidupkan semangat Pancasila dalam tindakan sehari-hari. Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki legitimasi teologis. Islam menjadikan rahmah (kasih sayang) sebagai spirit utama pendidikan, sebagaimana Nabi Muhammad saw diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin. KBC adalah pengejawantahan dari prinsip itu dalam bentuk kebijakan negara.
Kurikulum Berbasis Cinta bukan sekadar inovasi pendidikan, melainkan bagian dari reformasi hukum yang mengembalikan marwah pendidikan sebagai ruang pemanusiaan. Jika Indonesia ingin benar-benar menjadi bangsa emas pada 2045, maka ia harus mendidik generasi emas dengan cara-cara yang emas pula, penuh kasih, adil, dan membebaskan. Karena sesungguhnya, sebelum kita membangun mega proyek ekonomi dan infrastruktur, kita harus terlebih dahulu membangun peradaban hati dan itu hanya mungkin jika pendidikan dijalankan dalam bingkai CINTA.