تخطي للذهاب إلى المحتوى

Akreditasi, SDM, dan Posisi Kampus dalam Era Kurikulum Cinta

Tasrif, SE., MM (ADC Rektor IAIN Parepare)
24 أغسطس 2025 بواسطة
Akreditasi, SDM, dan Posisi Kampus dalam Era Kurikulum Cinta
Hamzah Aziz


Dalam percaturan pendidikan tinggi, akreditasi kerap dipandang sekadar formalitas administratif, sebuah “stempel” dari BAN-PT maupun Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) yang harus dipenuhi agar program studi tetap bisa berjalan. Padahal, lebih dari itu, akreditasi sesungguhnya adalah cermin mutu sebuah institusi, penanda keseriusan kampus dalam mengelola sumber daya, dan bukti akuntabilitas di mata publik. Ia bukan hanya berpengaruh pada citra, melainkan juga pada masa depan sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan, serta pada posisi kampus dalam peta kompetisi pendidikan nasional maupun global.

Data BAN-PT tahun 2024 mencatat bahwa lebih dari 70% program studi di Indonesia masih berada pada level “Baik” atau “Baik Sekali”, sementara yang berhasil meraih predikat “Unggul” baru sekitar 10%. Angka ini menggambarkan betapa perjalanan menuju mutu yang paripurna masih panjang. Kehadiran LAM dalam bidang-bidang tertentu menambah standar yang lebih spesifik, menuntut kampus untuk tidak sekadar memenuhi kelengkapan dokumen, tetapi benar-benar membangun budaya mutu yang melekat pada setiap aktivitas akademik, penelitian, hingga pengabdian masyarakat.

Mutu yang baik hanya bisa dicapai jika kampus menaruh perhatian penuh pada pengembangan SDM. Dosen bukan lagi sekadar pengajar, melainkan juga peneliti, inovator, dan penggerak nilai. Mahasiswa tidak cukup hanya dikejar target kompetensi teknis, tetapi juga harus dipupuk kecakapan abad 21: berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif. Di titik inilah relevansi akreditasi terasa: ia memaksa kampus untuk merawat kualitas dosen, memperkuat tata kelola, dan memastikan proses belajar tidak berhenti pada transfer ilmu, melainkan tumbuh menjadi proses transformasi manusia.

Namun, tantangan terbesar justru datang pasca-akreditasi. Banyak kampus lengah setelah meraih nilai baik atau unggul, lalu terjebak dalam zona nyaman. Padahal, mutu sejati bukanlah capaian sesaat, melainkan komitmen yang terus dirawat. Kiat mempertahankan mutu pasca-akreditasi harus dimulai dari budaya refleksi dan evaluasi berkelanjutan: apakah kurikulum masih relevan dengan kebutuhan zaman? Apakah dosen terus didorong untuk meningkatkan kapasitas? Apakah mahasiswa mendapat ruang cukup untuk mengasah kreativitas?

Di sinilah gagasan kurikulum cinta menemukan relevansinya. Pendidikan tidak boleh semata-mata dikerangkakan dalam logika pasar atau tuntutan administratif. Ia harus berakar pada cinta: cinta terhadap ilmu, terhadap kemanusiaan, terhadap kebangsaan. Kurikulum cinta mendorong agar akreditasi tidak dipahami hanya sebagai angka, melainkan sebagai jalan membangun insan yang berintegritas, berempati, dan berdedikasi. Kampus yang menanamkan kurikulum cinta akan melahirkan lulusan yang bukan hanya kompeten, tetapi juga mampu menebarkan nilai-nilai kemanusiaan dalam profesinya.

Ketika akreditasi, SDM, dan kurikulum cinta terjalin erat, maka posisi kampus akan menguat dengan sendirinya. Ia tidak sekadar menjadi “penyedia ijazah”, melainkan rumah besar yang dipercaya publik, mitra strategis bagi dunia industri, dan benteng moral bangsa. Pada akhirnya, ukuran keberhasilan perguruan tinggi bukanlah seberapa tinggi skor akreditasinya, melainkan sejauh mana ia mampu melahirkan generasi yang menjadikan cinta sebagai dasar pengetahuan, dan ilmu sebagai jalan untuk mengabdi.


Akreditasi, SDM, dan Posisi Kampus dalam Era Kurikulum Cinta
Hamzah Aziz 24 أغسطس 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف