Bahasa merupakan wasilah yang menghubungkan satu jiwa dengan jiwa lainnya. Dalam setiap kata yang terucap, tersimpan makna, niat, dan rasa. Namun, di balik semua itu, ada satu kekuatan yang lebih dalam yakni cinta. Cinta yang mengalir melalui bahasa mampu melahirkan pemahaman, menghancurkan prasangka, dan menumbuhkan toleransi di tengah keberagaman. Bahasa adalah instrumen utama dalam pendidikan. Ia bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga mencerminkan pola pikir, akhlak, dan pandangan hidup. Dalam perspektif Islam, bahasa memiliki kedudukan agung. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang indah, lugas, dan penuh hikmah. Rasulullah pun dikenal sebagai sosok yang fasih berbicara dan penuh hikmah dalam bertutur.
Cinta tidak hanya soal romansa, tetapi juga tentang bagaimana memperlakukan sesama manusia. Ketika berbicara dengan lembut, menghargai dialek orang lain, atau mempelajari sebuah bahasa untuk dapat berkomunikasi dengan mereka yang berbeda, sesungguhnya kita sedang menyemai benih toleransi.” Konsep cinta (al-ḥubb) dalam Islam bukan sekadar perasaan emosional, tetapi merupakan energi spiritual dan etis yang menjadi dasar segala amal. Dalam Al-Qur’an, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai ar-Raḥmān ar-Raḥīm, yang penuh cinta dan kasih. Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim).
Bahasa, dalam wujudnya yang paling mulia, menjadi alat untuk membangun kedamaian. Ketika seseorang belajar menyapa dalam bahasa tertentu, ia bukan hanya mempelajari bunyi atau struktur kalimat, melainkan juga menyentuh budaya, menghormati perbedaan, dan menanamkan empati. Itulah cinta yang menjelma dalam bentuk komunikasi. Namun dunia tidak selalu damai. Perbedaan sering kali menjadi sumber konflik—agama, budaya, warna kulit, bahkan aksen dalam berbicara dapat menimbulkan jarak. Di sinilah toleransi lahir dari cinta. Cinta mengajarkan untuk bersabar saat perbedaan muncul. Cinta membimbing kita agar tidak langsung menghakimi, tetapi mencoba memahami. Dan cinta, pada akhirnya, menyatukan bukan karena kita sama, tetapi karena saling menghormati dalam perbedaan.
Di sekolah, pesantren dan madrasah guru yang mengajarkan bahasa bukan hanya sedang mengajarkan tata bahasa atau kosakata, tetapi juga sedang membentuk karakter siswa untuk menjadi pribadi yang terbuka dan toleran. Di jalanan, ketika dua orang yang berbeda bahasa saling tersenyum dan memahami satu sama lain dengan gestur sederhana, itu adalah bentuk cinta yang nyata.
Toleransi adalah wujud dari cinta. Ia tidak memaksa semua orang menjadi seragam, tetapi justru merayakan perbedaan sebagai kekayaan. Dan bahasa adalah alatnya—bukan hanya bahasa lisan, tetapi juga bahasa tubuh, bahasa seni, dan bahasa hati. Toleransi bukan kompromi terhadap akidah, melainkan wujud dari cinta dan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan.
Konsep cinta (al-ḥubb) dalam Islam bukan sekadar perasaan emosional, tetapi merupakan energi spiritual dan etis yang menjadi dasar segala amal. Dalam Al-Qur’an, Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai ar-Raḥmān ar-Raḥīm, yang penuh cinta dan kasih. Bahkan dalam sebuah hadis, Rasulullah menyatakan bahwa tidak sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri (HR. Bukhari dan Muslim).
Karena itu, mari kita rawat cinta dalam setiap tutur dan kata yang kita ucapkan! Mari tebarkan toleransi dalam setiap interaksi! Sebab dunia ini terlalu sempit untuk kebencian, tetapi cukup luas untuk cinta yang diwujudkan dalam bahasa dan tindakan.