تخطي للذهاب إلى المحتوى

Dari Bahasa ke Hati: Menumbuhkan Cinta dalam Kurikulum melalui Makna Cinta dalam Bahasa Arab

Adam Pabbajah (Fakultas Tarbiyah IAIN Parepare)
25 يوليو 2025 بواسطة
Dari Bahasa ke Hati: Menumbuhkan Cinta dalam Kurikulum melalui Makna Cinta dalam Bahasa Arab
Hamzah Aziz

Dalam tradisi Arab dan Islam, kata "cinta" bukanlah sekadar ekspresi emosional, tetapi sebuah nilai yang mengakar dalam bahasa, budaya, dan pendidikan. Kata "mahabbah" dalam Al-Qur’an dan hadits bukan hanya menandai relasi antar-individu, melainkan juga relasi manusia dengan ilmu, dengan Tuhan, dan dengan semesta. Maka ketika Kementerian Agama RI meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), kita sesungguhnya sedang menyambung mata rantai nilai yang telah lama hidup dalam peradaban Arab-Islam.

Sebagai dosen Bahasa dan Budaya Arab, saya memandang bahwa kurikulum tidak bisa dipisahkan dari nilai-nilai yang hidup dalam bahasa pengantarnya. Bahasa Arab sebagai bahasa wahyu menyimpan diksi-diksi cinta yang sangat kaya diantaranya kata rahmah, wudd, mawaddah, syafaqah, ‘atha’, bahkan hilm yang masing-masing membawa nuansa cinta yang mendalam, lembut, dan mendidik. Kata-kata ini bukan sekadar kosakata melainkan pembentuk karakter dalam pendidikan.

Sayangnya, praktik pendidikan kita kadang terjebak pada bahasa yang dingin, formal, bahkan menghukum. Padahal, dalam budaya Arab klasik, seorang guru disebut mu’allim, bukan muhaqqiq (penghukum). Seorang mu’allim disebut berhasil ketika ia menanamkan cinta kepada ilmu, bukan rasa takut terhadap nilai. Seperti ungkapan Arab kuno:  “Al-‘ilmu yulqā bir-riqqah wa yusqal bil-mahabbah" (Ilmu diberikan dengan kelembutan dan disirami dengan cinta).

Kurikulum Berbasis Cinta menjadi jalan untuk mengembalikan hakikat pendidikan sebagai proses ta’dīb—pembudayaan adab. Bahasa cinta bukan berarti melemah, tetapi melembutkan. Ia tidak mengurangi kedisiplinan, tetapi mengisi disiplin itu dengan makna dan relasi kemanusiaan.

Kurikulum berbasis cinta juga dapat mengambil inspirasi dari budaya al-mujalasah (duduk bersama), al-hiwar (dialog), dan al-maw’izhah al-hasanah (nasihat yang baik) semuanya menekankan nilai kesetaraan, dialogis, dan kasih dalam proses belajar. Bukankah ini yang kita butuhkan di tengah derasnya pendidikan yang makin kompetitif dan impersonal?

Implementasi Kurikulum Berbasis Cinta adalah peluang emas bagi penguatan peran Bahasa Arab di madrasah dan kampus keagamaan. Dengan menggali diksi dan narasi cinta dalam teks-teks Arab klasik, kita bisa menghadirkan pembelajaran Bahasa Arab yang bukan hanya gramatikal, tetapi juga emosional dan spiritual. Mahasiswa tidak hanya belajar fi’il madhi dan mudhari’, tetapi juga belajar berkata lembut, membangun empati, dan menghidupkan rahmah dalam komunikasi sehari-hari.

Kurikulum Berbasis Cinta adalah jawaban atas keresahan panjang dunia pendidikan kita: maraknya kekerasan simbolik di sekolah, relasi kuasa yang kaku antara guru dan murid, dan ketidakhadiran nilai kasih dalam manajemen pembelajaran. Dengan KBC, kita diajak kembali pada semangat rahmatan lil ‘alamin sebuah orientasi pendidikan yang mendidik manusia secara utuh yaitu akal, hati, dan adab.

Sebagai pendidik, saya meyakini bahwa pendidikan terbaik adalah yang melibatkan cinta. Cinta kepada ilmu, cinta kepada sesama, dan cinta kepada masa depan. Dan itu hanya bisa dimulai jika kita sebagai pengajar, juga berani mencintai murid-murid kita dengan tulus, menerima mereka apa adanya, mendampingi mereka setulusnya, dan mendoakan mereka seikhlasnya.


Dari Bahasa ke Hati: Menumbuhkan Cinta dalam Kurikulum melalui Makna Cinta dalam Bahasa Arab
Hamzah Aziz 25 يوليو 2025
شارك هذا المنشور
علامات التصنيف
الأرشيف