تخطي للذهاب إلى المحتوى

Jalan Salad Nabi Muhammad: Bersama Tak Harus Sama

Muhammad Haramain (Ketua LP2M IAIN Parepare)
6 سبتمبر 2025 بواسطة
Jalan Salad Nabi Muhammad: Bersama Tak Harus Sama
Hamzah Aziz

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah ruang refleksi, bagaimana teladan Nabi dihidupkan dalam keseharian kita.

Nabi hadir di tengah masyarakat yang beragam. Ada suku Quraisy yang dominan, komunitas Aus dan Khazraj di Madinah, hingga kelompok Yahudi dan Nasrani. Alih-alih meniadakan perbedaan, dia merawat kebersamaan dengan prinsip saling menghormati.

Piagam Madinah menjadi buktinya. Nabi merumuskan kesepakatan sosial yang memberi ruang bagi semua kelompok, dengan identitasnya masing-masing, untuk hidup bersama dalam satu kota. Kebersamaan tidak lahir dari penyeragaman, tetapi dari keikhlasan menerima perbedaan sebagai fakta kehidupan.

Di titik ini, pemikiran Aristoteles terasa selaras. Manusia adalah zoon politikon, makhluk sosial yang hanya bisa hidup utuh di dalam polis (kota), yakni komunitas yang menjadi wadah kebersamaan.

Polis itu ibarat piring tempat berbagai unsur kehidupan diletakkan bersama. Tanpa piring, buah dan sayur tercerai-berai. Tanpa komunitas, manusia kehilangan makna. Inilah yang dihidupkan Nabi: Madinah sebagai “piring bersama” yang merangkul keragaman warganya.

Dari sini, kita belajar dari metafora sederhana. Kebersamaan lebih mirip sepiring salad daripada segelas jus campur. Salad menyajikan buah dan sayur berbeda; apel, tomat, selada. Semua tetap pada bentuknya, tetapi saling melengkapi dalam satu piring. Sementara jus campur meleburkan semuanya hingga kehilangan identitas. Jus memang seragam, tetapi salad lebih jujur. Ia merayakan perbedaan tanpa menghapus keunikan.

Nabi mencontohkan jalan salad itu: membiarkan keragaman hadir, namun tetap dalam bingkai persaudaraan. Bahkan, ketika sebuah jenazah Yahudi diusung melewati Masjid Nabawi, dia berdiri untuk menghormatinya. Saat sahabat bertanya mengapa dia berdiri untuk jenazah non-Muslim, Nabi menjawab, “Bukankah dia juga seorang manusia?”

Teladan sederhana ini menunjukkan penghormatan universal Nabi kepada sesama manusia, apa pun latar belakangnya. Perbedaan tidak membuatnya meniadakan penghormatan, karena setiap manusia memiliki martabat yang harus dijaga.

Pantulan semangat itu juga terlihat dalam tradisi maulid di berbagai daerah Indonesia; Di Jawa, masyarakat mengenal Grebeg Maulid dengan gunungan hasil bumi yang dibagikan sebagai lambang syukur. Di Aceh, peringatan Maulid hadir lewat Khanduri Maulid, kenduri besar yang mempertemukan warga. Di Lombok, ada Maulid Adat dengan arak-arakan dan lantunan doa yang semarak. Sementara di Sulawesi, masyarakat menghias telur dan menancapkannya pada batang pohon pisang, lalu membagikannya setelah doa bersama sebagai simbol kehidupan dan keberkahan.

Wajahnya berbeda-beda, tetapi semuanya lahir dari cinta yang sama kepada manusia dan kemanusiaan.

Pesan Maulid bagi kita hari ini jelas. Kebersamaan sejati bukan berarti harus sama, melainkan mampu bersama dalam perbedaan.

Jika kita ingin merawat warisan teladan Nabi, maka cara terbaiknya adalah menjaga harmoni sosial, merawat perbedaan, dan menghadirkan kedamaian dalam hidup bersama.


Jalan Salad Nabi Muhammad: Bersama Tak Harus Sama
Hamzah Aziz 6 سبتمبر 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف