Pendidikan kita hari ini tampaknya sedang jatuh cinta pada formalitas. Segalanya rapi di atas kertas, indah di dalam dokumen, dan penuh jargon di ruang seminar. Namun ketika masuk ke ruang kelas, sering kali yang tersisa hanyalah presentasi kilat, diskusi setengah matang, dan mahasiswa yang pulang tanpa bekal berarti.
Ironisnya, semakin banyak teori dan metode pembelajaran yang digembar-gemborkan, semakin banyak pula capaian yang justru tak tercapai. Seperti kapal yang kebingungan karena terlalu banyak kompas, arah pendidikan menjadi kabur. Kita terjebak pada obsesi mengejar indikator, bukan esensi.
Fenomena ini mengingatkan kita akan pentingnya back to basic kembali ke dasar. Dalam sejarah pendidikan, banyak pemikir besar, cendekiawan ulung, dan tokoh berpengaruh lahir dari kurikulum yang kini kerap dicap “usang” dan “tidak relevan.” Ironisnya, sebagian di antara mereka justru menjadi pengkritik keras sistem lama itu, padahal kemampuan berpikir tajam yang mereka miliki adalah buah dari pendidikan yang mereka kritik tersebut.
Mereka dibentuk melalui metode belajar yang sederhana, tetapi mendalam: menguasai materi pokok, menghafalnya hingga meresap, berlatih berpikir runtut, dan membiasakan diri dengan disiplin intelektual yang ketat. Tidak ada kurikulum yang berubah setiap dua atau tiga tahun, tidak ada puluhan indikator yang membuat guru dan dosen sibuk mengisi format. Mereka menapaki proses yang konsisten bukan instan hingga benar-benar menguasai ilmunya.
Imam al-Ghazali pernah menegaskan:
"العلم لا يُعْطِيك بعضه حتى تعطيه كلك"
Ilmu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu hingga engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya.
Kutipan ini menggambarkan bahwa penguasaan ilmu menuntut konsentrasi penuh, waktu yang cukup, dan pengulangan yang sabar. Namun, pendidikan modern sering kali terjebak dalam ilusi kemajuan memuja inovasi yang serba cepat namun melupakan kedalaman. Akibatnya, capaian pembelajaran yang ditulis indah dalam dokumen jarang sebanding dengan kualitas kompetensi nyata yang dikuasai mahasiswa.
Hari ini, dosen lebih banyak duduk di depan komputer daripada di depan mahasiswa. RPS, laporan kinerja, instrumen akreditasi, dan puluhan format lain menjadi “penguasa” ruang akademik. Administrasi menjadi rimba birokrasi yang menelan waktu mengajar. Akibatnya, kualitas pembelajaran sering kali tinggal slogan. Kita sibuk melaporkan pembelajaran, tapi lupa melaksanakan pembelajaran yang sesungguhnya.
Jika terus begini, kita sedang membentuk generasi yang pandai membuat laporan, tetapi gagap memecahkan masalah nyata. Pendidikan kehilangan ruhnya: interaksi mendalam antara guru dan murid, pembelajaran yang menantang pikiran, dan latihan berpikir kritis yang konsisten.
Sudah waktunya kita back to basic. Kembali pada hakikat belajar: memahami, menguasai, dan mampu menggunakan ilmu. Bukan hanya mencatatnya di lembar evaluasi. Kurangi beban administrasi, beri ruang bagi dosen untuk mengajar dengan sepenuh hati, dan kembalikan kelas sebagai pusat pembentukan pikiran, bukan hanya pusat dokumentasi kinerja itulah esensi ruhul mudarris. Karena pada akhirnya, pendidikan yang sukses bukanlah yang paling rapi di meja birokrasi, tetapi yang paling membekas di pikiran dan hati para peserta didiknya.