تخطي للذهاب إلى المحتوى

Konstitusi Berilmu: Menyalakan Lentera Akademik di Usia Emas 80 Tahun Kemerdekaan RI

Badruzzaman Nawawi (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam)
10 أغسطس 2025 بواسطة
Konstitusi Berilmu: Menyalakan Lentera Akademik di Usia Emas 80 Tahun Kemerdekaan RI
Suhartina

Pada 17 Agustus 1945, bangsa ini menyalakan obor kemerdekaan—cahaya yang mengusir bayang-bayang penjajahan. Delapan puluh tahun kemudian, obor itu seharusnya tak hanya menyinari panggung politik, tetapi juga ruang kuliah, laboratorium, dan meja riset. Janji itu telah tercatat rapi dalam konstitusi. Pembukaan UUD 1945 menegaskan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, diperkuat Pasal 31 ayat (3) yang memerintahkan pemerintah menyelenggarakan pendidikan nasional yang berlandaskan iman, takwa, dan akhlak mulia. Bung Karno pernah mengingatkan, “Bangsa ini tidak akan besar karena kekayaan alamnya, tetapi karena manusianya.” Dan manusia yang dimaksud adalah manusia berilmu.

Perguruan tinggi bukan sekadar lembaga pencetak ijazah. Ia adalah amanat konstitusional yang diatur rinci dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Undang-undang ini memberi otonomi akademik, bukan kebebasan tanpa arah, melainkan kemerdekaan berpikir yang terikat integritas ilmiah. Einstein pernah berkata, “Education is not the learning of facts, but the training of the mind to think.” Maka tugas perguruan tinggi bukan menumpuk hafalan, melainkan membentuk keberanian berpikir kritis dan kreatif.

Saat ini Indonesia memiliki 4.593 perguruan tinggi (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, 2024), namun hanya tiga universitas yang menembus Top 500 QS World University Rankings 2025. Indeks Pembangunan Manusia kita memang berada di angka 73,9—kategori tinggi (BPS, 2023)—tetapi masih tertinggal dari Malaysia yang mencatat 80,2 dan jauh di belakang Singapura dengan 93,8. Fakta ini menegaskan bahwa pendidikan tinggi kita belum cukup terang untuk menjadi lentera kawasan.

Era digital dan kecerdasan buatan menawarkan peluang riset tanpa batas, namun juga menggoda dengan jalan pintas: plagiarisme, manipulasi data, hingga degradasi integritas ilmiah. UU ITE memang hadir untuk menjaga ruang digital tetap etis, tetapi penegakan moral akademik tetap berada di pundak insan kampus. Mandela benar ketika berkata, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Senjata itu akan tumpul jika kita membiarkannya berkarat oleh ketidakjujuran.

Memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, kita membutuhkan terobosan yang memerdekakan pikiran, menghubungkan riset dengan rakyat, dan menegakkan integritas ilmiah. Otonomi akademik harus benar-benar membuka ruang bagi dosen, peneliti, dan mahasiswa untuk berinovasi tanpa terjerat birokrasi berlapis. Orientasi penelitian perlu diarahkan pada masalah nyata bangsa—dari pangan, energi, kesehatan, hingga lingkungan—agar publikasi ilmiah tidak hanya berhenti di rak jurnal. Di saat yang sama, budaya kejujuran intelektual harus dibangun kokoh, karena karya ilmiah yang lahir dari manipulasi data hanya menyalakan api kecil yang cepat padam.

Bung Hatta pernah berkata, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas.” Jembatan itu sudah kita lalui delapan dekade, tetapi akan sia-sia jika kita tidak menyeberang menuju peradaban ilmu. Konstitusi berilmu adalah panggilan moral sekaligus amanat hukum: memastikan setiap kebijakan pendidikan, setiap riset, dan setiap ruang kuliah menjadi suluh bagi bangsa. Sebab bangsa yang merdeka secara politik tetapi gelap pikirannya hanyalah rumah tanpa cahaya. Tugas kita semua; dari kampus di kota besar hingga ruang belajar di pelosokadalah menjaga lentera itu tetap menyala.

في Opini
Konstitusi Berilmu: Menyalakan Lentera Akademik di Usia Emas 80 Tahun Kemerdekaan RI
Suhartina 10 أغسطس 2025
شارك هذا المنشور
علامات التصنيف
الأرشيف