تخطي للذهاب إلى المحتوى

Kurikulum Berbasis Cinta: Mewujudkan Aqidah dan Akhlak yang Mencerahkan

Dr. Hj. Marhani, Lc, M.Ag. (Dosen IAIN Parepare)
27 يوليو 2025 بواسطة
Kurikulum Berbasis Cinta: Mewujudkan Aqidah dan Akhlak yang Mencerahkan
Hamzah Aziz

Kementerian Agama RI di bawah kepemimpinan Anregurutta KH. Nasaruddin Umar, M.A., menghadirkan angin segar dalam dunia pendidikan keagamaan Indonesia. Dengan visi besar "Pendidikan yang Mencerahkan dan Membebaskan," salah satu terobosan penting yang kini digaungkan adalah pencanangan kurikulum berbasis cinta yakni pendidikan yang menanamkan nilai kasih sayang, rahmat, dan keikhlasan sebagai pondasi utama pembelajaran Agama.

Gerakan ini bukan sekadar slogan, tapi manifestasi dari nilai-nilai keislaman yang telah lama diajarkan para ulama salaf hingga para mursyid tarekat: bahwa ilmu harus diajarkan dengan hati, bukan hanya akal; bahwa pendidikan sejati adalah pendidikan yang menyentuh ruhani.

Dalam konteks ini, mata pelajaran Aqidah dan Akhlak menjadi salah satu pilar utama dalam merealisasikan kurikulum berbasis cinta. Sebab, aqidah bukan sekadar doktrin yang dihafal, melainkan keyakinan yang tumbuh dari hati yang bersih. Begitu pun akhlak bukan hanya aturan moral, tapi buah dari iman yang dibenamkan dengan kelembutan.

Jika kita meneladani sosok Rasulullah ﷺ, pendidikan yang beliau terapkan kepada para sahabat adalah pendidikan cinta. Dengan sabar, beliau membina akidah Bilal bin Rabah yang dulu diperbudak. Dengan kasih sayang, beliau memurnikan akhlak Umar bin Khattab yang keras dan tegas. Bahkan kepada anak-anak, beliau tidak pernah berkata kasar, melainkan penuh senyum dan pelukan.

Sayangnya, dalam praktik pendidikan kita hari ini, pembelajaran Aqidah dan Akhlak terkadang justru terasa kering. Guru lebih fokus pada kelulusan administrasi ketimbang penanaman nilai. Murid-murid bisa menjawab soal tentang al-Asma al-Husna, tapi tak merasakan kelembutan sifat Ar-Rahman dalam sikap sehari-hari. Mereka hafal definisi jujur, tapi tidak melihatnya dalam keteladanan di lingkungan sekolah.

Inilah mengapa kurikulum berbasis cinta sangat relevan. Ia menjadi ruh baru dalam pendidikan, menjadikan guru sebagai pendidik ruhani (murabbi), bukan sekadar instruktur. Dalam sistem ini, proses belajar harus berangkat dari cinta: cinta kepada Allah, cinta kepada ilmu, cinta kepada sesama manusia.

Cinta dalam konteks ini bukanlah kelembekan yang membiarkan kesalahan. Justru ia adalah energi spiritual untuk membimbing, mengasihi, dan menghidupkan nilai-nilai ilahiyah dalam kehidupan peserta didik. Ketika murid merasa dicintai, hatinya terbuka. Dan hati yang terbuka adalah ladang subur bagi benih aqidah dan akhlak.

Pencanangan kurikulum berbasis cinta oleh Kementerian Agama di bawah Anregurutta KH. Nasaruddin Umar, M.A., adalah langkah monumental untuk mengembalikan ruh pendidikan Islam yang selama ini cenderung tergeser oleh pendekatan teknokratis. Kurikulum ini menuntut transformasi cara pandang, dari pendidikan berbasis kontrol menjadi pendidikan berbasis kasih.

Maka, mari kita sambut perubahan ini. Mari kita kembalikan kelas-kelas Aqidah dan Akhlak sebagai ruang penyemaian iman dan akhlak mulia. Karena sesungguhnya, ilmu tanpa cinta hanya melahirkan kekakuan, sementara cinta yang melandasi ilmu akan menumbuhkan keberkahan.

 “Ilmu adalah cahaya, dan cinta adalah jalan. Tanpa cinta, pendidikan kehilangan ruhnya.” Rasulullah ﷺ adalah teladan mendidik dengan rahmah. Mari kita hadirkan cinta dalam setiap langkah pengajaran.

Wassalam

Kurikulum Berbasis Cinta: Mewujudkan Aqidah dan Akhlak yang Mencerahkan
Hamzah Aziz 27 يوليو 2025
شارك هذا المنشور
الأرشيف