Hukum sering kali dianggap kaku, prosedural, dan sering kali tidak manusiawi dalam penerapannya, penerapan kurikulum cinta mungkin terkesan utopis. Akan tetapi jika hukum memang bertujuan untuk menegakkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, maka cinta akan menjadi landasan nilai yang seharusnya masuk dalam materi muatan setiap peraturan perundang-undangan dan penegakannya.
Dalam hal ini cinta tidak dimaknai secara romantis atau rayuan gombal belaka, tetapi sebagai semangat kepedulian sosial, memanusiakan manusia, dan melindungi hak-hak yang lemah. Inilah nilai-nilai cinta yang seharusnya menjadi roh dalam pembelajaran hukum. Maka, pertanyaanya kemudian, apakah kurikulum cinta dapat diinsersi dalam pendidikan hukum yang selama ini begitu normatif, tegas, dan penuh doktrin?
Teori hukum progresif yang dipopulerkan oleh Satjipto Rahardjo, hukum tidaklah final dan tertutup. Hukum harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan substantif, bukan sekadar menegakkan undang-undang. Di sinilah cinta, dalam bentuk rasa empati dan berpedoman pada nilai-nilai kemanusiaan. Penerapan kurikulum cinta dalam studi hukum berarti menyatukan dimensi rule of etich kedalam proses akademik yang selama ini terlalu formalistik.
Misalnya saja dalam hukum tata negara, kita terlalu sering mengajarkan prinsip-prinsip konstitusional tanpa menyentuh bagaimana hukum dapat memanusiakan warga negara. Kita menghafal isi UUD 1945, tetapi gagal melaksanakan rasa tanggung jawab terhadap perlindungan kelompok rentan atau minoritas. Contoh konkretnya Sekolah Gamaliel di Parepare, kita seolah apatis dalam bersikap dengan adanya penolakan oleh kelompok mayoritas, padahal secara konstitusional pembangunan Sekolah tidak mewajibkan persetujuan mayoritas.
Kurikulum cinta dapat mengoreksi kekosongan ini. Lebih dari sekadar konsep, kurikulum cinta adalah pendekatan pedagogis. Ia akan mengarahkan mahasiswa hukum untuk tidak hanya menghafal pasal, tetapi menggunakan akal dan hati dalam menjalani kehidupan yang akan banyaj dipengaruhi oleh tafsir mereka terhadap pasal tersebut nantinya.
Penerapan kurikulum cinta tidak berarti menciptakan kuliah baru bernama “Ilmu Hukum dan Cinta”. Yang lebih penting adalah bagaimana nilai-nilai cinta itu diintegrasikan ke dalam bahan ajar pendekatan pengajaran, dan cara pandang dosen terhadap hukum. Misalnya dalam ilmu Hukum Pidana dapat diwarnai dengan diskusi tentang pemulihan hak korban (restorative justice) dan keadilan yang bersifat korektif, bukan semata-mata pembalasan.
Hukum Tata Negara dapat lebih aktif mengkaji konstitusi dengan topik-topik seperti perlindungan HAM, penghapusan diskriminasi, dan semangat toleransi dalam kehidupan berbangsa yang dilandasi dengan cinta.
Mata kuliah Etika Profesi Hukum juga menjadi sarana untuk menanamkan pentingnya prilaku dan tanggung jawab profesi hukum, bukan sekadar loyalitas kepada klien. Tetapi cinta terhadap profesi dengan tetap menjaga integritas pribadi.
Kurikulum cinta juga bisa diterapkan melalui study kasus yang menempatkan mahasiswa sebagai pelaku keadilan, bukan hanya penghafal pasal-pasal. Mahasiswa dilatih untuk merasakan berbagai macam kondisi moral dalam kasus hukum, dan tidak serta-merta mengambil posisi yang berdasar pada bunyi pasal UU semata.
Namun tentu, pendekatan cinta dalam kurikulum pendidkan hukum bukan hal yang mudah. Ada sejumlah tantangan mendasar yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, pandangan positivisme masih sangat kuat. Banyak dosen termasuk saya sendiri di awal karier sebagai dosen cenderung merasa cukup dengan mengajarkan pasal dan teori hukum tanpa menghubungkannya dengan persoalan nyata di masyarakat.
Kedua, sistem penilaian dan capaian pembelajaran saat ini belum memberi ruang yang cukup bagi faktor non hukum. Kurikulum hukum nasional masih lebih fokus pada aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan), tetapi belum mengakomodir terkait adab dan prilaku(nilai dan sikap), termasuk cinta.
Ketiga, Tantangan institusional. Gagasan seperti ini sering kali dianggap terlalu filosofis, tidak aplikatif, bahkan “tidak ilmiah”. Di tengah tekanan kampus untuk menghasilkan lulusan yang “siap kerja”, nilai-nilai seperti cinta kerap dinilai kurang relevan.
Keempat, ada kekhawatiran bahwa penerapan nilai-nilai cinta dalam kurikulum ilmu hukum dapat membuka ruang indoktrinasi. Padahal justru cinta yang sejati menolak pemaksaan. Ia tumbuh dari pemahaman, perenungan, dan pengalaman, bukan dogma.
Kurikulum cinta bukan untuk menggantikan sistem yang saat ini sudah berjalan, tetapi untuk menyeimbangkannya. Hukum yang hanya berisi logika tanpa nurani akan melahirkan kekerasan yang sah. Kita tak ingin melahirkan sarjana hukum yang cerdas namun kejam, atau hakim yang jenius tetapi tak berperikemanusiaan. Sudah saatnya fakultas-fakultas hukum menjadikan empati, cinta kasih, dan komitmen pada keadilan sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan hukum. Ini bukan agenda sentimentil, tetapi kebutuhan akademik dan sosial. Sebab hukum, pada hakikatnya, adalah cinta yang dilembagakan.