Pendidikan agama di Indonesia selama ini cenderung berorientasi pada hafalan dan aspek kognitif, sementara dimensi emosional dan sosial seringkali terabaikan. Hal ini menjadi salah satu sebab mengapa kita masih menemukan sikap intoleran bahkan di kalangan pelajar. Ironisnya, kekerasan berbasis agama justru kadang tumbuh dari ruang-ruang yang mestinya mendidik tentang kasih sayang. Dalam situasi ini, gagasan “Kurikulum Cinta” dari Kementerian Agama menjadi langkah yang relevan dan mendesak untuk diterapkan.
Kurikulum ini dibangun di atas empat prinsip utama: cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan tanah air. Di antara keempatnya, cinta kepada sesama menjadi inti dari semangat toleransi. Anak-anak diajak memahami bahwa mencintai orang lain berarti menerima perbedaan yang ada, bukan menolaknya. Melalui pendekatan ini, nilai-nilai agama tidak hanya bersifat normatif, tapi menyatu dalam sikap dan tindakan sehari-hari. Agama tidak diajarkan dengan semangat penghakiman, tetapi dengan empati dan penghargaan terhadap sesama.
Usia dini adalah masa krusial untuk membentuk karakter dan nilai. Apa yang ditanamkan sejak SD atau SMP akan terbawa hingga mereka dewasa. Karena itu, ruang kelas menjadi lokasi strategis untuk mengajarkan sikap inklusif. Di dalamnya, anak-anak dari latar belakang berbeda belajar dan berinteraksi. Jika toleransi diperkenalkan sejak awal, maka perbedaan tidak lagi dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian wajar dari kehidupan bersama.
Namun, upaya menanamkan toleransi melalui Kurikulum Cinta tak akan berhasil tanpa peran aktif guru dan sekolah. Guru agama harus menjadi sosok yang menyampaikan ajaran dengan penuh kelembutan dan tidak menyisipkan narasi kebencian. Sekolah juga harus menumbuhkan budaya toleran melalui kegiatan yang mendorong kerja sama antar siswa lintas latar belakang. Kegiatan seperti diskusi lintas iman, kerja sosial, atau perayaan budaya bisa menjadi sarana konkret membentuk sikap saling menghargai. Semua ini membutuhkan dukungan kebijakan yang sistematis, bukan sekadar slogan.
Di lapangan, tentu ada tantangan yang harus dihadapi. Beberapa pihak mungkin menolak konsep Kurikulum Cinta karena dianggap terlalu lunak atau berseberangan dengan pemahaman keagamaan yang mereka anut. Belum lagi persoalan teknis, seperti kurangnya modul yang bisa langsung diaplikasikan guru di kelas. Tidak semua pendidik dibekali kemampuan atau pelatihan untuk menerapkan pendekatan ini dengan baik. Maka diperlukan kerja sama antara pemerintah, guru, dan masyarakat untuk mewujudkannya secara bertahap namun konsisten.
Kurikulum Cinta bukan sekadar reformasi isi pelajaran agama, tapi perubahan paradigma dalam mendidik generasi. Ia menempatkan cinta, empati, dan toleransi sebagai inti dari spiritualitas yang hidup. Pendidikan agama yang mengajarkan cinta akan melahirkan manusia yang tidak hanya religius, tapi juga terbuka terhadap keragaman. Jika ruang kelas berhasil menjadi tempat menanamkan nilai-nilai ini, maka masa depan Indonesia yang damai dan inklusif bukan lagi sekadar harapan. Sudah saatnya cinta menjadi dasar dalam membangun pendidikan dan peradaban.