Dalam hiruk-pikuk pendidikan dan dunia kerja yang penuh target, kita sering lupa bahwa yang dikelola dalam manajemen sumber daya manusia (SDM) adalah manusia. Bukan angka, bukan sekadar posisi, melainkan pribadi yang punya emosi, harapan, dan kebutuhan akan penghargaan. Namun dalam praktik, perhatian kita justru banyak tersita pada sistem, prosedur, dan target kinerja. Padahal, ada nilai sederhana tapi fundamental yang sering luput dari pembahasan: cinta.
Bukan cinta dalam pengertian personal, melainkan cinta sebagai nilai profesional, wujud empati, kepedulian, dan komitmen untuk melihat orang lain berkembang. Inilah yang saya sebut “Kurikulum Cinta”: Strategi tersembunyi yang tidak tertulis di modul pelatihan, tetapi menentukan keberhasilan jangka panjang.
Cinta dalam Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman, lewat konsep Emotional Intelligence, mengingatkan bahwa kemampuan memahami diri dan orang lain kerap lebih menentukan kesuksesan dibanding kecerdasan teknis semata.
Pemimpin yang peka terhadap kebutuhan tim, guru yang sabar menghadapi muridnya, atau manajer SDM yang benar-benar peduli pada pengembangan staf, akan menciptakan suasana kerja dan belajar yang sehat. Seperti dikatakan Stephen Robbins, perilaku positif dalam organisasi tumbuh bukan dari tekanan, tetapi dari iklim saling percaya.
Cinta dalam Motivasi
Frederick Herzberg, melalui Two-Factor Theory, menegaskan bahwa motivasi yang berasal dari dalam, seperti rasa bangga, pengakuan, dan makna dalam pekerjaan, lebih bertahan lama dibanding motivasi dari luar seperti gaji atau ancaman hukuman.
Rasa cinta terhadap profesi dan terhadap orang yang dibimbing membuat guru, manajer, dan pemimpin rela memberi lebih dari sekadar kewajiban formal. Cinta menumbuhkan rasa memiliki, yang menjadi bahan bakar loyalitas dan komitmen.
Cinta dalam Budaya Organisasi
Peter Senge dalam konsep Learning Organization menggambarkan organisasi sehat sebagai tempat yang aman untuk belajar dan tumbuh. Pemimpin yang menanamkan nilai cinta akan membentuk budaya inklusif dan kolaboratif.
Di sini, cinta bukan jargon, melainkan strategi nyata: membangun budaya welas asih, di mana kesalahan bukan alasan untuk menghukum, tetapi peluang untuk memperbaiki dan berkembang.
Menulis Ulang Kurikulum
Ketika saya mengatakan “cinta adalah kurikulum terdalam dari setiap pembelajaran yang bermakna”, itu bukan sekadar ungkapan indah.
Institusi pendidikan, perusahaan, dan organisasi yang menumbuhkan nilai cinta akan menghasilkan SDM unggul: terampil, matang secara emosional, dan tangguh secara moral. Mungkin sudah saatnya kita menulis ulang kurikulum kita, bukan menambah mata pelajaran, tapi menyuntikkan cinta sebagai nilai yang hidup di setiap interaksi dan proses kerja.
Karena di akhir semua upaya pengelolaan SDM, yang kita kelola bukan hanya pekerjaan, tetapi manusia.