“Komunikasi adalah proses menyampaikan pesan.” Kalimat itu terdengar sederhana, bahkan klise, di hampir semua buku ajar komunikasi. Tapi, benarkah hanya itu esensinya? Dalam praktiknya, banyak orang mampu menyampaikan pesan tapi gagal membangun hubungan. Banyak orang pandai bicara, namun tak mampu mendengarkan. Dalam dunia pendidikan pun, kita mengajarkan teknik komunikasi, tetapi melupakan jiwanya: cinta.
Selama ini, kurikulum ilmu komunikasi cenderung teknokratis. Mahasiswa dikenalkan dengan teori komunikasi linear Shannon-Weaver, model komunikasi massa ala Lasswell, bahkan disuguhkan analisis komunikasi politik dan strategi pemasaran. Semua penting. Tapi semua juga dingin. Hampir tidak ada ruang untuk membahas komunikasi sebagai tindakan mencintai bukan dalam arti romantis, tetapi sebagai bentuk kepedulian, pengakuan, dan empati.
Padahal, cinta adalah inti dari komunikasi manusiawi. Komunikasi bukan sekadar menyampaikan pesan dari titik A ke B, tetapi menyambungkan makna, membangun kehadiran, dan menciptakan rasa aman. Dalam perspektif komunikasi interpersonal, cinta dapat dipahami sebagai proses relasional yang melibatkan afeksi, perhatian, dan keterbukaan terhadap orang lain. Namun sayangnya, dimensi ini justru nyaris absen dalam desain kurikulum formal di kampus-kampus komunikasi kita.
Cinta sebagai inti komunikasi justru menemukan landasan filosofisnya dalam teori tindakan komunikatif Jürgen Habermas. Dalam kerangka ini, komunikasi bukan sekadar alat untuk mencapai kesepakatan praktis, melainkan sarana untuk mencapai pengertian antar-subjek melalui kejujuran, ketulusan, dan keterbukaan. Tindakan komunikatif yang ideal —yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, bebas dari dominasi, dan berorientasi pada konsensus rasional— adalah ruang di mana cinta dapat bertumbuh sebagai kehadiran yang saling mendengarkan. Sayangnya, sistem pendidikan kita sering mengarah pada tindakan strategis: menyampaikan untuk memengaruhi, bukan untuk memahami. Di sinilah krisis kurikulum komunikasi hari ini menemukan akarnya.
Pemikiran Axel Honneth tentang pengakuan juga memperkuat mengapa cinta layak masuk ke dalam desain pendidikan komunikasi. Bagi Honneth, cinta adalah bentuk dasar dari pengakuan intersubjektif, yakni ketika seseorang merasa dirinya dilihat, dihargai, dan diterima. Dalam konteks ini, kegagalan kurikulum menciptakan ruang pengakuan emosional justru melahirkan alienasi: mahasiswa yang fasih secara teknis, tetapi hampa secara relasional. Pengajaran komunikasi tanpa dimensi pengakuan berarti membentuk generasi komunikator yang tidak sensitif terhadap luka-luka sosial yang tidak selalu terlihat di permukaan kata.
Lebih jauh lagi, kita bisa belajar dari paradigma naratif dalam studi komunikasi, yang menekankan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita (homo narrans). Komunikasi bukan hanya soal transmisi pesan, tetapi tentang membangun dan membagikan cerita yang bermakna. Dalam kisah-kisah inilah, cinta menemukan wujud paling nyatanya: dalam kisah tentang merawat orang tua, memahami teman yang berbeda, atau menanggapi konflik dengan hati terbuka. Paradigma naratif mengajak kita menjadikan ruang kelas bukan sekadar tempat hafalan teori, tetapi arena bertemunya kisah-kisah manusia yang berusaha dipahami. Kurikulum cinta akan membuat mahasiswa bukan hanya belajar cara bicara, tetapi juga cara hadir dalam cerita orang lain.
Coba perhatikan: adakah mata kuliah yang secara khusus membahas komunikasi penuh kasih? Adakah ruang untuk belajar tentang komunikasi dalam relasi keluarga yang penuh luka, tentang percakapan yang menyelamatkan jiwa, atau tentang komunikasi sebagai bentuk penyembuhan? Alih-alih, kita sibuk mengejar kompetensi presentasi, retorika politik, dan desain pesan media sosial.
Masalahnya bukan pada apa yang diajarkan, melainkan pada apa yang diabaikan. Dalam konteks sosial hari ini di mana konflik identitas, ujaran kebencian, arogansi kekuasaan, dan kesepian digital semakin masif, komunikasi tidak bisa lagi diajarkan sebagai keterampilan teknis semata. Ia harus diajarkan sebagai praktik etis. Dan etika komunikasi, sejatinya, berakar pada cinta.
Cinta di sini bukan jargon religius atau slogan moral. Ia adalah dasar dari komunikasi yang jujur, terbuka, dan penuh rasa hormat. Ketika seorang guru memeluk muridnya yang gagal, ketika seorang dosen duduk setara dengan mahasiswanya sharing pengalaman, ketika seorang teman mendengarkan tanpa menghakimi, atau ketika seorang jurnalis menulis dengan empati, di sanalah komunikasi berbasis cinta sedang berlangsung. Namun semua itu tidak lahir secara spontan. Ia perlu dilatih, dibentuk, dan diajarkan.
Sudah waktunya kita mendesain ulang kurikulum komunikasi. Bukan dengan menambahkan mata kuliah baru bernama “komunikasi cinta”, melainkan dengan mengintegrasikan nilai-nilai afektif dalam seluruh proses pembelajaran. Mahasiswa harus belajar membedah konflik bukan hanya secara struktural, tetapi juga secara emosional. Mereka harus dilatih untuk hadir, bukan hanya tampil. Dan yang paling penting, mereka harus dibiasakan untuk mendengar, bukan hanya menjawab.
Tentu, pendidikan tidak akan bisa mengajarkan cinta dalam arti penuh. Tapi ia bisa menciptakan ruang agar cinta tumbuh: lewat diskusi yang jujur, interaksi yang suportif, dan pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Karena pada akhirnya, komunikasi adalah tentang merawat hubungan. Dan hubungan tidak akan pernah bertahan tanpa cinta.
Jika selama ini kita bertanya “apa pesanmu?”, mungkin kini saatnya bertanya: “apa niatmu?” sebab dalam komunikasi, niat yang dilandasi cinta akan menentukan arah dari semua yang kita katakan dan kita dengar.