Kemerdekaan sering kita rayakan dengan meriah. Namun di balik bendera yang berkibar dan lagu yang berkumandang, maknanya kerap berhenti di permukaan: bebas dari penjajahan fisik. Padahal, hakikat kemerdekaan jauh lebih dalam, ia adalah kebebasan dari kebodohan, dari sempitnya pikiran, dan dari hilangnya kepekaan hati. Bangsa yang sungguh merdeka adalah bangsa yang mampu berpikir jernih, berdaya saing, dan sejajar dengan bangsa lain di dunia.
Pendidikan menjadi pintu menuju kemerdekaan sejati. Sejarah peradaban Islam membuktikan hal ini. Masa Keemasan Islam (Islamic Golden Age) pada abad ke-8 hingga ke-14 M menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan teknologi di Baghdad, Kordoba, hingga Samarkand bukanlah kebetulan. Para khalifah, ulama, dan ilmuwan seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Khwarizmi menjadikan thalabul ‘ilm (mencari ilmu) sebagai pilar peradaban. Pendidikan bukan sekadar sarana memahami teks agama, tetapi juga alat membebaskan manusia dari kejumudan berpikir, menumbuhkan kreativitas, dan mendorong interaksi harmonis lintas budaya. Dari sinilah dunia Islam berdiri sejajar dengan, bahkan memimpin, peradaban global.
Maka, setiap upaya yang kita lakukan, dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Outcome Based Education (OBE), hingga kurikulum yang memadukan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, sesungguhnya adalah langkah untuk menyalakan kembali pelita itu. Tiga kecerdasan ini bukan hanya mengasah kemampuan berpikir, tetapi juga membentuk sikap, rasa, dan tindakan. Lulusan yang diharapkan bukan sekadar “siap kerja”, tetapi siap hidup dengan hati yang lapang dan pikiran yang bening.
IAIN Parepare, misalnya, berupaya menghadirkan kurikulum yang menyatu dengan zaman sekaligus menghidupkan karakter. Melalui MBKM, mahasiswa diajak menapaki dunia nyata dan merangkai pengalaman berharga. Dengan OBE, mereka dibimbing menjadi insan yang kompeten. Sementara kurikulum cinta menuntun mereka memanusiakan manusia melalui tiga ikatan: hablumminallah (hubungan dengan Tuhan), hablumminannas (hubungan dengan sesama), dan hablumminalmakhluq (hubungan dengan seluruh ciptaan).
Ketiga ikatan ini menumbuhkan cinta, kepada Allah, kepada manusia, dan kepada alam. Cinta yang menyatukan hati, mengalirkan kepedulian, dan menumbuhkan harmoni. Ketika cinta ini hidup dalam diri, alam terjaga, persaudaraan tumbuh, dan kemerdekaan hakiki pun hadir: bebas dari penjajahan fisik, bebas dari kebodohan, dan bebas dari kerusakan moral.
Para pemikir mengingatkan kita bahwa kemerdekaan bukan sekadar kebebasan, melainkan kemampuan menentukan arah hidup dengan tanggung jawab moral. K.H. Hajar Dewantara pernah menegaskan, manusia diberi kebebasan oleh Tuhan untuk mengatur hidupnya, namun tetap sejalan dengan aturan masyarakat.
Jika kita ingin merdeka dari kebodohan, mari kita kembali pada pesan agung di antara dua tanda kutip: “Iqra” membaca dunia dan diri, “Qalam” menulis dan menyuarakan kebenaran, serta “Malam Ya’lam” kesadaran akan keterbatasan dan kerendahan hati untuk terus belajar. Di situlah kemerdekaan menemukan makna terdalamnya: hati yang tenang, pikiran yang jernih, akhlak yang terjaga, dan cinta kasih yang mengalir dari Yang Maha Pemurah.