تخطي للذهاب إلى المحتوى

Maulid, Dialog, dan Harapan Baru untuk Persatuan Bangsa

6 سبتمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Fikruzzaman Saleh --- Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ selalu menghadirkan ruang refleksi, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Maulid bukan sekadar seremonial keagamaan, melainkan momentum untuk meneladani cara Nabi membangun peradaban melalui komunikasi yang bijak, dialog yang terbuka, dan etika penyiaran yang menyejukkan hati.

Di tengah kondisi bangsa yang kerap diwarnai polarisasi politik, ujaran kebencian di media sosial, dan rapuhnya kohesi sosial, pesan maulid menjadi sangat relevan. Nabi Muhammad bukan hanya seorang rasul, tetapi juga komunikator ulung yang berhasil menyatukan masyarakat yang tercerai-berai di Jazirah Arab. Beliau tidak memaksakan kehendak, melainkan menumbuhkan kesadaran bersama melalui dialog yang penuh empati, penyiaran pesan tauhid dengan kelembutan, serta komunikasi yang berakar pada kasih sayang.

Dalam konteks komunikasi dan penyiaran Islam, kita menemukan nilai dasar: qaulan sadīdan (perkataan yang benar), qaulan balīghan (perkataan yang menyentuh), qaulan layyinan (perkataan yang lembut), dan qaulan ma‘rūfan (perkataan yang baik). Empat prinsip komunikasi Qur’ani ini sejalan dengan akhlak Nabi yang ditegaskan dalam banyak riwayat, termasuk saat beliau menghadapi perbedaan, penolakan, bahkan permusuhan.

Jika nilai-nilai tersebut dihidupkan dalam ruang publik Indonesia hari ini, maka Maulid dapat menjadi titik awal peradaban dialogis: membangun komunikasi politik yang santun, media massa yang menyejukkan, dan penyiaran agama yang menjembatani perbedaan, bukan menajamkan jurang.

Bangsa Indonesia yang majemuk membutuhkan komunikasi yang memadukan transendensi (hubungan dengan Allah), humanisasi (kepedulian pada manusia), dan liberasi (pembebasan dari ketidakadilan). Semangat ini pernah dihidupkan Nabi melalui Piagam Madinah, yang merangkul berbagai suku dan agama dalam satu komunitas politik yang adil dan setara.

Dengan demikian, Maulid bukan hanya soal nostalgia pada kelahiran Nabi, tetapi juga panggilan etis bagi bangsa Indonesia untuk menata ulang cara kita berdialog. Jika komunikasi publik dibersihkan dari fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian, lalu digantikan dengan narasi persatuan, maka Indonesia akan menemukan harapan baru untuk melangkah lebih kokoh sebagai bangsa.

Maulid mengingatkan kita: persatuan tidak lahir dari kekerasan, tetapi dari kata-kata yang menyejukkan. Dialog tidak sekadar berbicara, tetapi mendengar dengan hati. Dan harapan bangsa tidak datang dari elit politik semata, melainkan dari masyarakat yang berani menghidupkan kembali komunikasi profetik dalam keseharian.

في Opini