Di suatu sudut kampus, seorang mahasiswa termenung di pelataran gedung fakultas. Indeks prestasinya turun drastis, bukan karena malas, tapi karena ia harus menjaga ibunya yang sakit dan bekerja sambilan. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bertanya. Dunia akademik terus berputar.
Pendidikan tinggi bukan hanya soal angka, akreditasi, atau indeks prestasi. Di balik peringkat dan tabel evaluasi, ada mahasiswa yang kelelahan, terluka, dan berjuang menahan dunia yang terasa terlalu berat. Mereka butuh lebih dari sekadar kurikulum: mereka butuh penerimaan, menjaga harap (an), walau dalam kondisi terburuk sekalipun.
Mendidik dengan hati berarti memandang mahasiswa secara utuh, pikiran, perasaan, dan pencarian jati diri mereka di masa remaja akhir. Bukan hanya memberi “nutrisi” intelektual, tetapi juga kehangatan kemanusiaan. Kadang, yang mereka butuhkan bukan tambahan materi, tapi seseorang yang cukup peduli untuk bertanya, “Kamu baik-baik saja?”
Carl Rogers, psikolog humanistik, mengajarkan prinsip Unconditional Positive Regard: menerima seseorang tanpa syarat. Dalam konteks pendidikan, ini bukan berarti membiarkan kesalahan, tapi menciptakan ruang aman bagi siapa pun, yang percaya diri maupun yang pemalu, yang hadir rutin maupun yang sedang berjuang dari balik layar karena tekanan ekonomi, keluarga, atau kesehatan mental.
Relasi akademik semestinya dibingkai oleh empati, penghargaan, dan kejelasan. Ketika mahasiswa tidak merasa dihakimi, mereka lebih terbuka, lebih berani mencoba, dan lebih cepat pulih dari kegagalan. Dari sinilah lahir kepercayaan diri dan optimisme, bahwa pendidikan sejati adalah alat bertahan dalam dunia yang sering kali tak ramah.
“Mendidik dengan hati” adalah bentuk nyata dari kurikulum cinta: memasukkan kasih sayang, kepedulian, dan empati ke dalam setiap sudut proses belajar. Ruang kelas menjadi tempat yang hangat, pojok konseling menjadi pelabuhan aman, dan relasi akademik berubah menjadi jembatan yang kuat antara rasa ingin tahu dan rasa diterima.
Kampus bukan sekadar tempat mencetak gelar. Ia adalah ladang pertumbuhan intelektual, pengelolaan emosi, dan pendalaman spiritual. Di ruang-ruang itulah, mahasiswa belajar bukan hanya menjadi pintar, tapi juga menjadi manusia.
Ketika kita mendidik dengan hati, kita tak hanya mencetak lulusan unggul, tapi juga insan utuh. Insan yang tahu bahwa dunia tidak selalu adil, tapi masih ada tempat yang membuat mereka merasa cukup. Tempat itu bernama kampus, yang seharusnya mampu melahirkan generasi yang berotak London, berhati Masjidil Haram.