Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) mulai ditanamkan secara serius dalam dunia pendidikan tinggi Islam, terutama di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Gagasan progresif ini diperkenalkan oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.Ag., yang menekankan pentingnya cinta sebagai fondasi pendidikan Islam. “Cinta adalah energi utama dalam pendidikan,” ujarnya dalam berbagai forum akademik. Konsep ini lahir dari kesadaran bahwa pendidikan transformatif tak cukup hanya mengandalkan logika dan intelektualitas. Ia harus dibangun di atas kasih sayang, empati, dan keadaban. Dalam kerangka ini, perpustakaan memegang peranan strategis sebagai ruang yang menumbuhkan nilai-nilai tersebut secara konkret dan berkelanjutan.
Perpustakaan hari ini tak bisa lagi dipandang sebagai gudang buku belaka. Ia telah bertransformasi menjadi ruang kultural, etis, dan edukatif—tempat berlangsungnya pertukaran makna dan nilai. Dalam semangat KBC, perpustakaan idealnya menjadi garda depan dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan akademik. Koleksi buku, program literasi, hingga desain ruang perlu mencerminkan visi pendidikan yang mengedepankan rahmah, tasamuh, dan keadilan. Haedar Nashir dalam Islam yang Mencerahkan menegaskan bahwa cinta dan rasionalitas adalah fondasi peradaban Islam yang memajukan masyarakat damai dan toleran.
Pertama, perpustakaan dapat menjadi ruang literasi yang humanis dan moderat. Koleksi literatur yang menyentuh dimensi batin dan memperluas cakrawala spiritual akan membantu mahasiswa memahami Islam sebagai agama cinta. Buku-buku Buya Hamka, Jalaluddin Rumi, hingga literatur kontemporer seperti Islam Cinta dan Moderasi Beragama terbitan Kementerian Agama sangat relevan untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kampus.
Kedua, perpustakaan mendorong kegiatan literasi yang bernilai kasih. Program seperti bedah buku bertema kasih sayang, diskusi lintas disiplin tentang toleransi, dan pelatihan menulis reflektif mengenai nilai-nilai kemanusiaan adalah wujud konkret peran perpustakaan dalam membentuk karakter. Ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed bahwa pendidikan harus membebaskan dan memanusiakan, bukan sekadar menanamkan pengetahuan yang mengekang.
Ketiga, perpustakaan dapat menjadi mitra strategis dosen dalam penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Dengan menyediakan referensi yang selaras dengan semangat KBC, perpustakaan memperkuat aspek afektif dalam pembelajaran. Modul Moderasi Beragama dan RPS berbasis nilai dapat dijadikan acuan dalam menyusun materi ajar yang bukan hanya membentuk kecerdasan akademik, tetapi juga membina kelembutan nurani.
Keempat, perpustakaan membentuk atmosfer edukatif yang ramah dan menyenangkan. Pelayanan yang humanis, ruang baca yang nyaman, serta penerimaan terhadap keragaman mahasiswa adalah ekspresi nyata cinta dalam layanan publik. Konsep ini selaras dengan gagasan third place dari Ray Oldenburg—yakni ruang alternatif selain rumah dan kelas yang menjadi tempat berkembangnya jejaring sosial yang sehat dan inklusif.
Kelima, di era digital, perpustakaan memiliki tanggung jawab etis untuk mengembangkan literasi digital yang berakar pada nilai. Literasi digital tak cukup berhenti pada kemampuan teknis, melainkan harus dibarengi dengan penanaman empati, etika, dan kebijaksanaan bermedia. UNESCO dalam Rethinking Education menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dalam penggunaan teknologi pendidikan agar tidak terjebak dalam kecanggihan yang miskin makna.
Keenam, perpustakaan mendukung tridarma perguruan tinggi dengan memperluas peran literasinya ke masyarakat. Program pengabdian seperti pelatihan literasi berbasis nilai, perpustakaan keliling, dan kegiatan literasi kasih sayang di komunitas menjadi jalan penyebaran semangat KBC ke luar tembok kampus. Seperti ditulis Nurul Putri dalam Jurnal Pendidikan Islam (2023), perpustakaan PTKIN perlu tampil sebagai motor penggerak gerakan literasi bernilai dan budaya damai di tengah masyarakat yang plural.
Momentum kunjungan Menteri Agama ke kampus menjadi pengingat penting bagi seluruh civitas academica untuk memperkuat budaya literasi bernilai. Sudah saatnya ruang-ruang digital kampus—termasuk laman web dan media sosial—dipenuhi oleh tulisan-tulisan reflektif yang menandai komitmen terhadap cinta sebagai jiwa pendidikan Islam. Dalam lanskap ini, perpustakaan bukan sekadar infrastruktur akademik, melainkan jantung dari kehidupan intelektual yang penuh kasih, empati, dan kemanusiaan.
Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) mulai ditanamkan secara serius dalam dunia pendidikan tinggi Islam, terutama di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Gagasan progresif ini diperkenalkan oleh Menteri Agama RI, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.Ag., yang menekankan pentingnya cinta sebagai fondasi pendidikan Islam. “Cinta adalah energi utama dalam pendidikan,” ujarnya dalam berbagai forum akademik. Konsep ini lahir dari kesadaran bahwa pendidikan transformatif tak cukup hanya mengandalkan logika dan intelektualitas. Ia harus dibangun di atas kasih sayang, empati, dan keadaban. Dalam kerangka ini, perpustakaan memegang peranan strategis sebagai ruang yang menumbuhkan nilai-nilai tersebut secara konkret dan berkelanjutan.
Perpustakaan hari ini tak bisa lagi dipandang sebagai gudang buku belaka. Ia telah bertransformasi menjadi ruang kultural, etis, dan edukatif—tempat berlangsungnya pertukaran makna dan nilai. Dalam semangat KBC, perpustakaan idealnya menjadi garda depan dalam menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan akademik. Koleksi buku, program literasi, hingga desain ruang perlu mencerminkan visi pendidikan yang mengedepankan rahmah, tasamuh, dan keadilan. Haedar Nashir dalam Islam yang Mencerahkan menegaskan bahwa cinta dan rasionalitas adalah fondasi peradaban Islam yang memajukan masyarakat damai dan toleran.
Pertama, perpustakaan dapat menjadi ruang literasi yang humanis dan moderat. Koleksi literatur yang menyentuh dimensi batin dan memperluas cakrawala spiritual akan membantu mahasiswa memahami Islam sebagai agama cinta. Buku-buku Buya Hamka, Jalaluddin Rumi, hingga literatur kontemporer seperti Islam Cinta dan Moderasi Beragama terbitan Kementerian Agama sangat relevan untuk menanamkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kampus.
Kedua, perpustakaan mendorong kegiatan literasi yang bernilai kasih. Program seperti bedah buku bertema kasih sayang, diskusi lintas disiplin tentang toleransi, dan pelatihan menulis reflektif mengenai nilai-nilai kemanusiaan adalah wujud konkret peran perpustakaan dalam membentuk karakter. Ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed bahwa pendidikan harus membebaskan dan memanusiakan, bukan sekadar menanamkan pengetahuan yang mengekang.
Ketiga, perpustakaan dapat menjadi mitra strategis dosen dalam penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS). Dengan menyediakan referensi yang selaras dengan semangat KBC, perpustakaan memperkuat aspek afektif dalam pembelajaran. Modul Moderasi Beragama dan RPS berbasis nilai dapat dijadikan acuan dalam menyusun materi ajar yang bukan hanya membentuk kecerdasan akademik, tetapi juga membina kelembutan nurani.
Keempat, perpustakaan membentuk atmosfer edukatif yang ramah dan menyenangkan. Pelayanan yang humanis, ruang baca yang nyaman, serta penerimaan terhadap keragaman mahasiswa adalah ekspresi nyata cinta dalam layanan publik. Konsep ini selaras dengan gagasan third place dari Ray Oldenburg—yakni ruang alternatif selain rumah dan kelas yang menjadi tempat berkembangnya jejaring sosial yang sehat dan inklusif.
Kelima, di era digital, perpustakaan memiliki tanggung jawab etis untuk mengembangkan literasi digital yang berakar pada nilai. Literasi digital tak cukup berhenti pada kemampuan teknis, melainkan harus dibarengi dengan penanaman empati, etika, dan kebijaksanaan bermedia. UNESCO dalam Rethinking Education menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dalam penggunaan teknologi pendidikan agar tidak terjebak dalam kecanggihan yang miskin makna.
Keenam, perpustakaan mendukung Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan memperluas peran literasinya ke masyarakat. Program pengabdian seperti pelatihan literasi berbasis nilai, perpustakaan keliling, dan kegiatan literasi kasih sayang di komunitas menjadi jalan penyebaran semangat KBC ke luar tembok kampus. Seperti ditulis Nurul Putri dalam Jurnal Pendidikan Islam (2023), perpustakaan PTKIN perlu tampil sebagai motor penggerak gerakan literasi bernilai dan budaya damai di tengah masyarakat yang plural.
Momentum kunjungan Menteri Agama ke kampus menjadi pengingat penting bagi seluruh civitas academica untuk memperkuat budaya literasi bernilai. Sudah saatnya ruang-ruang digital kampus—termasuk laman web dan media sosial—dipenuhi oleh tulisan-tulisan reflektif yang menandai komitmen terhadap cinta sebagai jiwa pendidikan Islam. Dalam lanskap ini, perpustakaan bukan sekadar infrastruktur akademik, melainkan jantung dari kehidupan intelektual yang penuh kasih, empati, dan kemanusiaan.