تخطي للذهاب إلى المحتوى

Resonansi Cinta dalam Kelas: Antara Afinitas Guru dan Reaksi Belajar Peserta Didik

Imrana (Dosen Tadris IPA)
28 يوليو 2025 بواسطة
Resonansi Cinta dalam Kelas: Antara Afinitas Guru dan Reaksi Belajar Peserta Didik
Suhartina

Di tengah hiruk pikuk dunia pendidikan yang kerap terpaku pada capaian angka, grafik, dan nilai evaluasi, terdapat satu elemen penting yang tidak bisa diukur secara kuantitatif yaitu relasi emosional antara guru dan peserta didik. Padahal proses belajar tidak hanya berlangsung di atas kertas tetapi juga di dalam hati. Layaknya laboratorium kehidupan, kelas menjadi ruang belajar tempat berlangsungnya reaksi emosional, sosial, maupun intelektual saling berpadu. Dalam ruang tersebut, guru hadir bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi menciptakan ikatan resonansi cinta yang lahir dari afinitas dan ketulusan.

Dalam kimia, afinitas diartikan sebagai daya tarik antarpartikel. Dalam dunia pendidikan, afinitas guru didefinisikan sebagai kemampuan untuk membangun kedekatan emosional dengan peserta didiknya. Hal Ini dapat divisualisasikan dari hal-hal kecil seperti menyapa peserta didik dengan namanya, mendengarkan dengan penuh perhatian, atau hadir secara utuh saat mengajar. Afinitas seperti ini bukan hanya membuat peserta didik merasa nyaman, tapi juga menumbuhkan rasa aman dan percaya yang menjadi fondasi belajar dalam ruang kelas yang inklusif dan bermakna. Tanpa afinitas, guru dan peserta didik dapat berada di ruang yang sama secara fisik namun berada di ruang terpisah secara emosional.

Reaksi kimia membutuhkan kondisi yang tepat seperti suhu, tekanan, dan katalis agar dapat berlangsung secara optimal. Demikian pula dalam pembelajaran, reaksi belajar peserta didik tidak akan muncul hanya karena materi telah disajikan. Belajar memerlukan kondisi yang tepat seperti suasana hati yang positif, rasa dihargai, dan iklim pembelajaran yang hangat. Hal ini tidak hanya membuat peserta didik terlibat lebih aktif, tetapi juga merasa diperhatikan dan dipahami. Dari perspektif teori belajar, kondisi ini sesuai dengan self determination theory yang menyebutkan bahwa rasa memiliki (relatedness), otonomi, dan kompetensi adalah hal mendasar yang mendorong motivasi intrinsik seseorang untuk belajar. Maka tugas guru tidak hanya menyediakan materi, tetapi juga menciptakan ekosistem pembelajaran yang mendukung tumbuhnya motivasi dari dalam diri peserta didik.

Resonansi menunjukkan bahwa ikatan antaratom tidak dapat digambarkan hanya dengan satu struktur tetap. Demikian pula resonansi menjelaskan bahwa hubungan sejati tidak dibentuk dari satu pengalaman tunggal, tetapi dari banyak momen kecil yang saling menguatkan, mulai dari tawa, air mata, percakapan, perbedaan, dan penerimaan. Semua elemen inilah yang kemudian membentuk “struktur cinta” yang stabil, kuat, dan seimbang. Inilah yang disebut resonansi cinta dalam kelas: hubungan guru dan peserta didik yang dibangun dari banyak interaksi kecil yang bermakna, bukan hanya satu momen besar. Ketika guru dan peserta didik berada dalam satu frekuensi yang sama, maka akan tercipta sebuah ikatan yang lebih kuat dan harmonis. Di laboratoriumnya, guru bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai katalis dan senyawa pengikat antarelemen dalam proses belajar. Ketika resonansi cinta terjadi di kelas, peserta didik tidak hanya belajar tentang materi, tapi juga belajar bahwa kesalahan bukan untuk dihukum, tapi dijadikan proses. Mereka belajar bahwa proses belajar bukan beban, melainkan bagian dari perjalanan bersama. Inilah yang kemudian digagas oleh kurikulum cinta.

Kurikulum cinta menekankan bahwa segala hal harus selalu didasari oleh cinta, begitupun dalam pendidikan. Kurikulum cinta hadir sebagai nilai dasar yang menjiwai hubungan antarmanusia di ruang kelas. Bukan tentang romantisme, tetapi tentang kehadiran otentik serta relasi emosional yang menghidupkan suasana belajar. Kurikulum cinta adalah fondasi dan resonansi cinta adalah gema yang dihasilkannya. Resonansi menciptakan suasana pembelajaran yang harmonis karena guru dan peserta didik berada dalam frekuensi emosi yang selaras. Dengan demikian, resonansi cinta akan membentuk keseimbangan, saling memberi, stabilitas, dan keberlanjutan. Sama seperti cinta manusia, ia butuh interaksi yang sehat, ruang untuk tumbuh, dan energi untuk bertahan. Inilah makna sejati dari pendidikan yang memanusiakan, ketika ilmu dan kasih saling bergetar dalam satu ruang yang bernama kelas.

في Opini
Resonansi Cinta dalam Kelas: Antara Afinitas Guru dan Reaksi Belajar Peserta Didik
Suhartina 28 يوليو 2025
شارك هذا المنشور
علامات التصنيف
الأرشيف