Di tengah perubahan zaman dan derasnya arus komunikasi publik, lembaga pendidikan baik sekolah maupun madrasah tidak lagi cukup hanya mengedepankan capaian akademik. Era baru pendidikan menuntut hadirnya madrasah ramah jiwa yang menjadi oasis bagi tumbuh kembang karakter, bukan sekadar tempat belajar kognitif. Inilah gagasan besar yang diusung oleh Kurikulum Berbasis Cinta membangun brand cinta melalui ekosistem pendidikan yang menghadirkan bi’ah tarbawiyah muntasirah lingkungan belajar yang menyejukkan jiwa, menyenangkan, serta memberi rasa aman bagi setiap insan.
Upaya penguatan terhadap semangat Kurikulum Berbasis Cinta mesti dimulai dari perubahan paradigma, dari yang sebelumnya sekadar transfer pengetahuan menjadi pembudayaan nilai kasih sayang dan empati dalam setiap relasi. Setiap guru, kepala sekolah, dan pengelola pendidikan diharapkan menjadi brand ambassador cinta mewujudkan sekolah sebagai safe space dan rumah kedua. Cinta tidak hanya menjadi tema dalam visi-misi, tetapi benar-benar diinternalisasi dalam praktik harian: mulai dari salam sapa ramah di pagi hari, ruang kelas yang penuh dialog dan keterbukaan, hingga cara lembaga merespons dinamika di media sosial dengan narasi damai dan inklusif. Inilah wujud nyata dari ekosistem welas asih yang menjadi penekanan Kurikulum Berbasis Cinta.
Prinsip appreciative inquiry yang menjadi pendekatan utama Kurikulum Berbasis Cinta menegaskan pentingnya setiap individu di ekosistem pendidikan untuk mengenali, menghargai, dan mengembangkan potensi baik dalam dirinya maupun orang lain. Guru tidak lagi menjadi pusat otoritas tunggal, melainkan fasilitator pertumbuhan karakter mendampingi peserta didik menemukan kekuatan, bukan menghakimi kelemahan. Brand cinta kemudian tumbuh secara otentik, tercermin dalam bagaimana lembaga menumbuhkan budaya trust, respect, dan solidaritas.
Kurikulum Berbasis Cinta sendiri berakar kuat pada spirit rahmatan lil alamin. Seperti termaktub dalam sabda Nabi Muhammad saw.: Salah satu dari kalian tidak (disebut) beriman (secara sempurna), hingga mencintai untuk saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri.”
Penguatan brand cinta juga menuntut keberanian meninggalkan pola lama yang kaku dan vertikal. Budaya komunikasi dua arah yang dikedepankan dalam Kurikulum Berbasis Cinta baik antara guru, siswa, maupun orang tua harus menjadi karakter yang mengakar, di mana suara setiap individu didengar dan dihargai. Lembaga pendidikan juga perlu direvitalisasi sebagai penjaga citra ekosistem kasih sayang, dengan pemanfaatan media sosial untuk menyebarkan narasi keberagaman, kisah inspiratif, serta prestasi kolaboratif sebagai praktik nyata brand cinta.
Lebih dari sekadar slogan, brand cinta dari Kurikulum Berbasis Cinta adalah investasi karakter jangka panjang. Lembaga pendidikan yang menanamkan nilai-nilai ini dengan sungguh-sungguh akan menjadi role model nasional dikenang bukan hanya karena lulusannya, tetapi juga karena budaya welas asih yang mewarnai setiap sudut sekolah. Dari ekosistem yang penuh cinta ini akan lahir generasi Rahmatan Lil Alamin: cerdas, empatik, dan membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Penguatan brand cinta harus menjadi gerakan kolektif bukan sekadar program, melainkan napas dan jiwa seluruh kebijakan dan aktivitas pendidikan. Kurikulum Berbasis Cinta layak menjadi rujukan nasional, menegaskan bahwa sekolah dan madrasah dapat sekaligus menjadi pusat kecerdasan dan welas asih, serta penopang utama reputasi pendidikan masa depan Indonesia.