Guru digugu, guru ditiru,ungkapan lama yang tetap relevan di tengah perubahan zaman yang kian cepat. Guru bukan sekadar pengajar, melainkan subjek perubahan; bukan hanya tenaga pendidikan, tetapi fondasi keberlanjutan peradaban. Sejak dahulu, peran guru tak pernah terbatas oleh dinding kelas. Ia hadir dalam dinamika sosial, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, menjadi penentu arah perjalanan umat yang semakin kompleks dan majemuk. Karena itu, perubahan sosial yang terjadi hari ini menuntut pembacaan ulang atas makna dan posisi seorang pendidik.
Tantangan sosial, ekologis, dan etika digital yang semakin rumit membuat definisi “pendidik” tidak lagi cukup dipahami dalam kerangka tradisional. Guru harus tampil sebagai agent of change, figur yang aktif, kritis, reflektif, dan progresif dalam membangun kesadaran ekologis, sosial, dan keumatan. Reposisi ini penting agar peran guru tidak berhenti sebagai pelaksana kurikulum, tetapi berkembang menjadi pemantik gerakan pengetahuan dan aktor transformasi sosial-keagamaan yang bersumber pada nilai Al-Qur’an dan hadis—nilai yang tidak hanya normatif, melainkan juga menggerakkan tindakan nyata.
Reposisi tersebut menemukan landasan teologisnya dalam pandangan Islam tentang guru sebagai waratsatul anbiya’. Profesi guru bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan mandat ilahi yang mengemban tiga dimensi sekaligus: ta'lim (transfer ilmu), tarbiyah (pembentukan karakter), dan tazkiyah (penyucian moral-spiritual). Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: "Rasul membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan Kitab dan Hikmah..." (QS. Al-Baqarah: 151). Ayat ini menunjukkan bahwa proses pendidikan sejati bukan hanya mengisi pikiran, tetapi juga membentuk kesadaran moral serta tanggung jawab sosial-lingkungan, sehingga peran guru berada pada pusat kemaslahatan bersama.
Lebih jauh, legitimasi teologis bagi guru sebagai agen perubahan ditegaskan oleh hadis tentang kewajiban mengubah kemungkaran: “Barang siapa melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangan...” (HR. Muslim). Dalam konteks pendidikan kontemporer, “tangan” dapat dimaknai sebagai tindakan struktural melalui kebijakan, kurikulum transformatif, riset solutif, dan program pengabdian masyarakat yang berorientasi keadilan sosial. Adapun “lisan” mencakup kritik ilmiah, penyadaran publik, serta dialog reflektif di ruang kelas. Dengan demikian, netralitas guru di hadapan ketidakadilan bukan hanya tidak dibenarkan, melainkan dapat memperpanjang ketimpangan sosial yang terjadi.
Dimensi ekologis pun memiliki dasar keagamaan yang kuat, sebagaimana hadis tentang menanam pohon yang manfaatnya menjadi sedekah hingga hari kiamat. Hadis ini menegaskan bahwa keberlanjutan bukan sekadar isu teknis, melainkan ibadah yang terus mengalirkan pahala. Dalam era krisis iklim, guru tidak hanya dituntut memahami isu lingkungan, tetapi juga menjadikannya bagian integral dari kurikulum moral, spiritual, dan peradaban. Kesadaran ekologis inilah yang memperluas cakrawala tugas guru, dari pengajar menjadi pembangun etika lingkungan.
Transformasi tidak cukup dibangun melalui ketegasan dan keberpihakan semata. Al-Qur’an memberi panduan metodologis melalui perintah: “Serulah manusia dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125). Ayat ini menekankan bahwa perubahan harus dilakukan dengan strategi komunikasi yang cerdas, empatik, kontekstual, dan tidak reaktif. Karena itu, saat mengajarkan isu sensitif seperti keberagaman, kesenjangan sosial, keadilan gender, dan ekologi, guru harus mengedepankan dialog yang berimbang, argumentasi berbasis ilmu, serta sensitivitas kemanusiaan. Pada titik ini, guru tampil bukan hanya sebagai penyampai ajaran, tetapi sebagai perajut harmoni sosial.
Dalam arus perubahan global yang berlangsung semakin cepat, guru tidak cukup hadir sebagai penyampai materi. Ia perlu tampil sebagai pelopor kemaslahatan, penjaga nilai, pembangun empati sosial, dan penggerak ekologi moral yang berkeadilan. Dengan spirit tazkiyah, etika perubahan (taghyir al-munkar), visi keberlanjutan (al-zar’u), serta metodologi hikmah, guru memiliki legitimasi spiritual dan sosial untuk membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi matang secara moral, ekologis, dan sosial. Di sinilah guru menjalankan risalah kependidikan: membangun masyarakat yang berkeadaban—baldatun ṭayyibatun wa rabbun ghafūr.
Wallāhu a‘lam bi al-shawāb.
mahjuf- 25 November 2025