تخطي للذهاب إلى المحتوى

Riset: Fleksibilitas Indonesia Vs. Legalistik Malaysia dalam Melindungi Hak Anak Perkawinan Campuran Tak Tercatat

25 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Di era globalisasi, perkawinan lintas negara bukan lagi fenomena langka. Namun, di balik romansa dan harapan baru, seringkali tersimpan kerentanan besar bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran yang tidak tercatat secara resmi. Mereka kerap menjadi “korban tak terlihat” (invisible victims), terperangkap dalam labirin birokrasi dan diskriminasi yang merenggut hak-hak dasar mereka, mulai dari identitas hukum hingga akses pendidikan dan kesehatan.


Dalam riset berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Hasil Perkawinan Campuran Tidak Tercatat di Indonesia dan Malaysia” yang dilakukan oleh Tim Peneliti IAIN Parepare, terungkap bagaimana dua negara bertetangga di Asia Tenggara ini menghadapi tantangan serupa dengan pendekatan yang berbeda. Penelitian ini menyoroti komitmen normatif kedua negara terhadap hak anak, namun juga menggarisbawahi variasi signifikan dalam kerangka regulatif dan implementasinya.


Jejak Anak-anak Tak Terlihat: Tantangan Perkawinan Campuran Tak Tercatat


Anak-anak dari perkawinan tidak tercatat, terutama dalam konteks perkawinan campuran, menghadapi serangkaian masalah hukum dan sosial yang kompleks. Ketiadaan akta kelahiran menjadi pintu gerbang menuju berbagai hambatan, seperti sulitnya mengakses pendidikan, layanan kesehatan, kewarganegaraan, dan bantuan sosial. Status hukum mereka yang tidak diakui juga menghilangkan hak-hak fundamental seperti hubungan nasab, nafkah, dan warisan dari ayah biologis. Diskriminasi, stigma “anak luar nikah”, serta risiko penelantaran dan kekerasan memperburuk kondisi kesejahteraan mereka secara signifikan.


Berbagai instrumen hukum internasional, termasuk Konvensi Hak Anak (CRC), Universal Declaration of Human Rights (UDHR), dan ASEAN Declaration on the Rights of Children, secara tegas mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan non-diskriminatif kepada semua anak. Indonesia telah menginternalisasi prinsip-prinsip ini melalui Undang-Undang Perlindungan Anak dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang memperluas hubungan perdata anak luar nikah dengan ayah biologis. Malaysia juga memiliki kerangka hukum serupa, seperti Births and Deaths Registration Act 1957 dan Child Act 2001, serta mekanisme isbat nikah di Pengadilan Syariah.


Meskipun demikian, studi-studi sebelumnya seringkali berfokus pada konteks nasional masing-masing, belum secara komparatif menganalisis kondisi anak-anak ini di Indonesia dan Malaysia. Kesenjangan ini menjadi alasan kuat bagi penelitian Tim Peneliti IAIN Parepare untuk menganalisis kebijakan, bentuk perlindungan hukum, serta perbandingan efektivitas implementasi di kedua negara, sekaligus mengidentifikasi potensi harmonisasi kebijakan untuk memperkuat sistem perlindungan hak anak di kawasan ASEAN.


Dua Wajah Perlindungan: Indonesia yang Inklusif, Malaysia yang Legalistik


Analisis terhadap kebijakan dan regulasi menunjukkan bahwa Indonesia telah membangun kerangka hukum yang relatif komprehensif dan inklusif. Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan peraturan turunannya memungkinkan anak memperoleh akta kelahiran tanpa mensyaratkan bukti pencatatan perkawinan orang tua. Paradigma ini menempatkan kepentingan terbaik anak di atas legalitas status perkawinan orang tua. Selain itu, mekanisme isbat nikah, pengesahan anak, dan penetapan pengadilan berfungsi sebagai instrumen hukum untuk mengukuhkan hubungan keperdataan anak.


Di sisi lain, Malaysia juga memiliki kerangka hukum yang mengatur status anak hasil perkawinan campuran melalui Akta Pendaftaran Kelahiran dan Kematian 1957, Akta Undang-Undang Keluarga Islam, dan peraturan kewarganegaraan dalam Federal Constitution. Namun, prosedur di Malaysia cenderung lebih ketat dan sangat bergantung pada bukti sah perkawinan orang tua. Ketiadaan dokumen perkawinan berujung pada hambatan administratif dalam pencatatan kelahiran dan pengajuan kewarganegaraan. Perlindungan hukum di Malaysia lebih menitikberatkan pada verifikasi legalitas sebelum memberikan pengakuan formal kepada anak.


Perbedaan mendasar ini mencerminkan prinsip dasar regulasi yang diterapkan kedua negara. Indonesia menonjolkan asas inklusivitas melalui kebijakan administrasi kependudukan yang bersifat terbuka, sementara Malaysia menekankan pendekatan legalistik yang menempatkan status perkawinan sebagai prasyarat utama untuk memperoleh sejumlah hak dasar. Perbedaan ini tak pelak membentuk karakter perlindungan anak di masing-masing negara, dipengaruhi oleh latar sosial-politik dan sistem hukum mereka.


Identitas dan Akses Layanan: Perjuangan Hak Dasar Anak


Dalam aspek identitas hukum, Indonesia memberikan ruang besar bagi anak untuk mendapatkan akta kelahiran meskipun perkawinan orang tua tidak tercatat. Pencatatan kelahiran dapat dilakukan berdasarkan keterangan ibu atau pihak lain yang mengetahui kelahiran, didukung pengesahan anak melalui putusan pengadilan. Langkah ini meminimalkan risiko anak menjadi tanpa identitas atau tidak memiliki bukti administratif statusnya sebagai warga negara Indonesia.


Sebaliknya, Malaysia, meskipun menjalankan prinsip universal birth registration yang berarti setiap anak berhak mendapatkan akta kelahiran, namun status kewarganegaraan dan akses layanan dasar sangat dipengaruhi oleh legalitas perkawinan orang tua dan bukti hubungan biologis. Anak dari perkawinan campuran tak tercatat berpotensi menghadapi proses verifikasi yang panjang dan ketat, terutama jika salah satu orang tua bukan warga negara Malaysia atau tidak dapat membuktikan status hukum pernikahan.


Akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial juga menunjukkan disparitas. Indonesia lebih akomodatif dengan membuka peluang bagi anak tanpa akta kelahiran untuk mengakses pendidikan dasar melalui surat keterangan domisili atau dokumen alternatif dari desa/kelurahan. Di Malaysia, akses terhadap layanan dasar memang lebih terstruktur, tetapi status kewarganegaraan menjadi penentu kelayakan layanan tertentu, khususnya layanan bersubsidi dan akses pendidikan negeri.


Efektivitas implementasi perlindungan anak di Indonesia cukup tinggi pada aspek identitas hukum karena kebijakan pencatatan kelahiran relatif mudah dijangkau dan tidak bergantung pada legalitas perkawinan. Mekanisme pengesahan anak melalui pengadilan memperkuat jaminan keperdataan dan membuka akses lebih luas terhadap hak-hak dasar. Namun, tantangan berupa disparitas kualitas layanan administrasi kependudukan antar daerah masih menjadi pekerjaan rumah.


Malaysia, di sisi lain, unggul dalam penertiban hukum dan kepastian administrasi. Pendekatan hukum yang lebih ketat memang berisiko menunda atau menghambat anak dari perkawinan campuran tak tercatat dalam memperoleh pengakuan identitas atau kewarganegaraan, terutama bagi kelompok minoritas atau keluarga dengan keterbatasan dokumen hukum. Kendati demikian, Malaysia berhasil mempertahankan standar administrasi yang konsisten dan minim kesenjangan antar wilayah.


Mencari Titik Temu: Harmonisasi Kebijakan di Asia Tenggara


Perbedaan kerangka hukum di Indonesia dan Malaysia mencerminkan dinamika antara asas legalitas dan asas perlindungan anak. Indonesia memilih menitikberatkan pemenuhan hak anak secara langsung melalui kebijakan administratif yang inklusif, sementara Malaysia mempertahankan pendekatan legalistik sebagai dasar pemberian identitas hukum dan status kewarganegaraan. Meskipun kedua negara merujuk pada prinsip-prinsip internasional seperti Konvensi Hak Anak (CRC), tingkat integrasi norma tersebut dalam kebijakan domestik berbeda.


Konsekuensinya, proses naturalisasi atau pendaftaran kewarganegaraan di Malaysia memerlukan waktu lebih lama dan persyaratan lebih kompleks. Efektivitas implementasi perlindungan anak sangat dipengaruhi oleh kapasitas birokrasi, di mana Indonesia unggul dalam aksesibilitas layanan tetapi menghadapi tantangan pemerataan kualitas, sementara Malaysia konsisten secara administratif tetapi kurang responsif terhadap kondisi keluarga dengan keterbatasan dokumen hukum.


Tim peneliti menyarankan, “Perlu ada model perlindungan anak yang menyeimbangkan antara kepastian hukum dan kepentingan terbaik anak, terutama dalam konteks perkawinan campuran yang semakin kompleks di kawasan Asia Tenggara.” Kedua negara memiliki peluang besar untuk saling belajar demi memperkuat perlindungan anak yang adaptif dan berorientasi pada kepentingan terbaik anak. Indonesia dapat meningkatkan konsistensi administrasi tanpa mengurangi sifat inklusif kebijakannya, sementara Malaysia dapat mempertimbangkan mekanisme pembuktian alternatif dan pendekatan yang lebih berpusat pada anak untuk memastikan setiap anak, terlepas dari status perkawinan orang tua, mendapatkan hak-haknya tanpa hambatan administratif yang berlebihan. Harmonisasi kebijakan lintas negara ini krusial untuk mencegah anak-anak menjadi korban tak terlihat dalam pusaran birokrasi dan perbedaan hukum.


Identitas Riset

Judul: Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Hasil Perkawinan Campuran Tidak Tercatat di Indonesia dan Malaysia

Peneliti: Tim Peneliti IAIN Parepare

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2025


DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, Hari Sri, Mohamad Tohari, and Tri Susilowati. 2025. “Analisis Hukum Atas Akses Pendidikan Bagi Anak-Anak Migran Indonesia Di Malaysia Berdasarkan Konvensi Hak Anak Dan Hukum Malaysia.” Innovative: Journal Of Social Science Research 5, no. 2: 768–81.