تخطي للذهاب إلى المحتوى

Riset: Harmoni Adat dan Syariat dalam Hukuman Cambuk Mihita La Ua Uatto di Iha-Ulupia

27 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Di tengah gempuran modernitas dan dominasi hukum negara, kearifan lokal tetap bertahan sebagai pilar keadilan di berbagai komunitas adat Indonesia. Hukum adat, yang seringkali tidak tertulis, memiliki kekuatan mengikat yang kuat, berakar pada praktik turun-temurun, legitimasi sosial, dan peran institusional para pemimpin adat. Fenomena ini nyata di banyak daerah, termasuk di Negeri Iha, Maluku, di mana masyarakat adat masih teguh memegang sistem normatif mereka, menjaga struktur tata kelola adat, dan menerapkan sanksi atas pelanggaran norma.


Salah satu praktik hukum adat yang menarik perhatian adalah “Mihita La Ua Uatto”, yaitu hukum cambuk adat. Dalam riset berjudul THE CONVERGENCE OF MORAL AUTHORITY: ISLAMIC ‘UQŪBAН PRINCIPLES AND THE NORMATIVE FUNCTION OF IHA'S "MIHITA LA UA UATTO” CUSTOMARY LAW yang dilakukan oleh Islamul Haq, Rasna, Resi, dan Nunung dari IAIN Parepare, praktik ini dianalisis secara mendalam. Penelitian ini tidak hanya mengkaji filosofi dan implementasi hukum cambuk adat tersebut, tetapi juga mencari titik temu nilai-nilai restoratifnya dengan prinsip-prinsip inti Hukum Pidana Islam. Fokusnya adalah bagaimana hukum adat ini menjaga keamanan sosial-spiritual, beradaptasi dengan tantangan kontemporer, dan mendapatkan legitimasi yang kuat dari masyarakat.


Filosofi Keseimbangan dan Kedamaian Adat Iha


Istilah “Mihita La Ua Uatto” mengandung makna “mengembalikan individu ke jalan yang benar”, sebuah prinsip yang menjadi inti sistem hukum adat Iha. Filosofi mendasar di balik praktik ini adalah keyakinan mendalam bahwa “di mana ada keseimbangan, di situ ada kedamaian”. Ketika terjadi pelanggaran, masyarakat percaya bahwa keseimbangan sosial telah terganggu dan harus segera dipulihkan melalui tindakan adat. Hukum cambuk adat ini bukan sekadar tindakan retributif, melainkan upaya untuk memperbaiki perilaku dan memulihkan harmoni sosial.


Pelanggaran dalam kerangka adat tidak dipandang sebagai aib pribadi semata, melainkan sebagai gangguan terhadap keseimbangan kolektif. Oleh karena itu, setiap sanksi yang dijatuhkan selalu disertai dengan upaya untuk memperbaiki hubungan sosial antara pelaku, pihak yang terdampak, dan masyarakat luas. Hukum adat ini berfungsi sebagai mekanisme rekonsiliasi sosial yang berakar pada kearifan lokal, menunjukkan bahwa tujuan utamanya adalah pemulihan dan bukan semata-mata pembalasan.


Evolusi dan Adaptasi Mihita La Ua Uatto


Revitalisasi penerapan hukum cambuk pada tahun 1990-an menandai tonggak penting dalam sejarah adat Iha. Di bawah kepemimpinan Raja Abdul Gawi Latukaisupy, tradisi leluhur ini dihidupkan kembali secara lebih konsisten. Hukum cambuk ini merupakan bagian dari warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang kepada masyarakat adat Iha-Ulupia, dengan tujuan melindungi mereka dari berbagai musibah yang mungkin terjadi di wilayah Negeri Iha-Ulupia. Praktik ini, yang dulunya diterapkan untuk pelanggaran serius seperti konsumsi alkohol, pencurian, perjudian, dan perzinaan, kini beradaptasi dengan realitas sosial.


Seiring waktu, penalti cambuk tidak lagi diterapkan untuk kasus perzinaan, pencurian, atau perjudian, seiring dengan berkurangnya perilaku tersebut di kalangan masyarakat Iha-Ulupia. Kini, hukuman ini hanya berlaku untuk pelanggaran terkait alkohol, yang dianggap sebagai akar penyebab berbagai bentuk pelanggaran, terutama di kalangan generasi muda. Adaptasi ini menunjukkan fleksibilitas hukum adat dalam merespons dinamika sosial, menjaga relevansinya tanpa kehilangan nilai-nilai esensial yang ingin dipertahankan.


Mekanisme Implementasi dan Legitimasi Sosial


Penerapan hukum cambuk Mihita La Ua Uatto di Komunitas Iha dilakukan secara terstruktur dan hierarkis, di bawah pengawasan lembaga adat. Kepala Pemuda memegang peran sentral sebagai koordinator teknis pelaksanaan sanksi, mulai dari persiapan lokasi, pengawasan keamanan, hingga memastikan kehadiran pelaku dan perlakuan yang tepat. Keterlibatan Kepala Pemuda tidak hanya karena posisi sosial mereka, tetapi juga karena kedekatan emosional mereka dengan warga, serta kemampuan mereka menjaga keseimbangan antara ketegasan dan kemanusiaan.


Dewan Desa (Saniri Negeri) juga membentuk Satuan Tugas Negeri (Satgas Negeri) yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukuman di lapangan. Anggota Satgas dipilih dari warga yang dikenal berintegritas, tenang, dan memahami aturan adat secara mendalam. Mereka dilatih untuk menjalankan tugas dengan disiplin, menghormati batas etika, dan menghindari kekerasan berlebihan. Selama pelaksanaan, cambuk dilakukan dengan rotan, menghindari bagian vital tubuh, dan disaksikan oleh perwakilan masyarakat serta tokoh adat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas moral. Koordinasi yang cermat antara Kepala Pemuda dan Satgas Negeri, yang dipimpin oleh Dewan Desa, memastikan setiap pelanggaran dibahas untuk menentukan waktu, lokasi, dan prosedur pelaksanaan sanksi. Sistem terkoordinasi ini menegaskan bahwa hukum adat di Komunitas Iha adalah hukum yang hidup—dioperasikan oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan demi kedamaian komunitas itu sendiri.


Harmoni Antara Adat dan Syariat: Konvergensi Prinsip Keadilan


Penelitian ini menemukan konvergensi normatif yang mendalam antara nilai-nilai yang terkandung dalam Mihita La Ua Uatto dan prinsip-prinsip inti Hukum Pidana Islam (ʻUqūbah). Konvergensi ini terlihat dalam lima dimensi utama. Pertama, Keadilan Dialogis (al-'Adālah), di mana kedua sistem menolak keputusan sepihak demi legitimasi moral hukuman. Islam mendasarkan hukuman pada prinsip al-'Adālah yang menuntut proporsionalitas dan keseimbangan, sementara adat Iha menjunjung keadilan melalui musyawarah para pemimpin adat. Kedua, Fungsi Sosio-Edukasi (al-Radʻ wa al-Zajr). Baik Islam maupun adat Iha memanfaatkan keterbukaan pelaksanaan hukuman sebagai mekanisme pencegahan yang kuat. Pelaksanaan di depan umum berfungsi sebagai pengingat sosial yang berkelanjutan bagi masyarakat untuk mengenali batas-batas moral.


Ketiga, Tujuan Rehabilitatif (al-Ta’dīb). Kedua sistem menekankan tujuan perbaikan moral pelaku. Islam mengajarkan ta’dīb sebagai pendidikan moral, sementara adat Iha memandang hukuman sebagai proses pemulihan martabat pelaku dalam komunitas. Pelaku yang dihukum direhabilitasi untuk kembali berperan normal, memastikan mereka tidak terasing dari komunitas. Keempat, Proporsionalitas Substantif (al-Tanāsib). Islam membedakan hukuman berdasarkan kategori jarīmah, sedangkan adat Iha menyesuaikan jumlah cambukan berdasarkan tingkat kesalahan. Kedua sistem menolak hukuman berlebihan atau meremehkan kesalahan, memastikan hukuman diterima sebagai instrumen moral, bukan alat kekuasaan. Kelima, Keseimbangan Spiritual/Kosmik. Islam memandang pelanggaran sebagai tindakan yang merusak hubungan manusia dengan Allah, sementara adat Iha melihatnya sebagai pelanggaran keseimbangan leluhur. Perspektif ini membingkai hukuman sebagai proses pemulihan hubungan manusia dengan nilai-nilai transenden, memastikan hukuman bukan hanya tindakan duniawi, tetapi juga spiritual.


Dari hubungan ini muncul konsep Teori al-ʻUqūbah al-Jamāʻiyyah al-Mutakāmilah (Teori Hukuman Kolektif Terpadu). Teori ini menyatakan bahwa hukuman menjadi efektif ketika beroperasi dalam kerangka nilai ritual dan legitimasi komunal kolektif. Islam menjunjung nilai-nilai ilahiyah, sementara adat memanfaatkan kekerabatan dan nilai-nilai leluhur. Keduanya menegaskan bahwa hukuman adalah komunikasi moral, bukan sekadar tindakan hukum. Dengan demikian, teori ini memperluas cakupan studi ‘uqubah dalam konteks sosio-kultural.


Masa Depan Hukum Adat dan Syariat dalam Kerangka Hukum Nasional


Integrasi model ini menunjukkan bahwa penerapan sanksi perlu disesuaikan dengan budaya masyarakat. Hukum Islam akan lebih efektif bila beroperasi dalam ranah sosial yang dihuni oleh nilai-nilai adat yang mapan. Adat Iha membuktikan bahwa masyarakat membutuhkan ritual dan simbol untuk memperkuat pesan hukuman. Ketika nilai-nilai syariat terjalin dengan ritual adat, stabilitas sosial akan lebih terjaga. Oleh karena itu, integrasi teoretis ini membuka jalan bagi harmonisasi hukum nasional, hukum Islam, dan hukum adat.


Konvergensi nilai-nilai ini memberikan kesempatan untuk perumusan kerangka teoretis baru tentang hubungan antara hukum Islam dan adat lokal. Kerangka maqāșid, yang menjadi dasar hukum Islam, dapat diintegrasikan dengan kerangka harmoni komunal dalam adat Iha. Keduanya berorientasi pada pelestarian keberlanjutan sosial dan moral, menegaskan bahwa adat dapat diinterpretasikan sebagai sistem nilai yang selaras dengan maqāșid. Dengan demikian, adat bukan sekadar budaya, melainkan tatanan moral normatif.


Penemuan ini memberikan kontribusi signifikan terhadap literatur dengan mengangkat adat lokal spesifik menjadi konsep teoretis universal, menunjukkan potensi kearifan lokal untuk menginformasikan dan menyempurnakan beasiswa hukum yang lebih luas. Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi lebih jauh bagaimana kerangka terpadu ini dapat diimplementasikan dalam kebijakan hukum nasional, khususnya dalam konteks perdebatan hak asasi manusia, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kearifan lokal dan prinsip-prinsip hukum modern. Integrasi data kuantitatif mengenai tingkat residivisme dengan analisis komparatif yang lebih kuat terhadap catatan pengadilan formal dapat memperkaya pemahaman tentang efektivitas nyata dari model hukum adat yang berlandaskan nilai-nilai spiritual dan sosial.


Identitas Riset

Judul: THE CONVERGENCE OF MORAL AUTHORITY: ISLAMIC ‘UQŪBAН PRINCIPLES AND THE NORMATIVE FUNCTION OF IHA'S "MIHITA LA UA UATTO” CUSTOMARY LAW

Peneliti: Islamul Haq, Rasna, Resi, Nunung

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 20XX

DAFTAR PUSTAKA

Jafar, Wahyu Abdul. 2016. “Analisis Asas Hukum Pidana Islam Dan Asas Hukum Pidana Di Indonesia.