تخطي للذهاب إلى المحتوى

Riset: Kuota Perempuan Gagal Hasilkan Keterwakilan Substantif, Pemilih Tuntut Kinerja Nyata

9 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Di tengah gemuruh janji demokrasi yang inklusif, keterwakilan perempuan dalam arena politik Indonesia kerap menjadi sorotan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 telah mengamanatkan kuota minimal 30% calon legislatif perempuan, sebuah langkah progresif untuk mendobrak dominasi patriarki. Namun, apakah regulasi ini benar-benar efektif di tingkat lokal, ataukah hanya menjadi formalitas belaka?


Dalam riset berjudul "Efektivitas Affirmative action dan Persepsi Pemilih terhadap Keterwakilan Perempuan di Pemilu DPRD Parepare 2024" yang dilakukan oleh Dirga Achmad, Astinah, dan Azlan Thamrin dari Institut Agama Islam Negeri Parepare, sebuah paradoks terungkap. Niat baik regulasi seringkali kandas di hadapan realitas implementasi dan persepsi pemilih yang kompleks. Studi ini menyoroti bagaimana kebijakan affirmative action yang dirancang untuk memperkuat posisi perempuan dalam politik, justru menghadapi tantangan sistemik yang menghambat pencapaian tujuan substantifnya.


Penelitian yang menggunakan pendekatan mixed methods sequential explanatory terhadap 200 responden dan informan kunci ini, secara spesifik mengevaluasi efektivitas kebijakan affirmative action dalam Pemilu DPRD Parepare Tahun 2024. Tujuannya tidak hanya menyajikan data statistik keterwakilan, tetapi juga mengungkap makna di balik angka tersebut melalui perspektif pemilih, penyelenggara pemilu, partai politik, dan calon legislatif perempuan. Temuan krusialnya mengindikasikan bahwa persepsi pemilih di tingkat lokal telah bergeser dari politik identitas menuju politik kinerja, di mana dampak nyata kebijakan lebih berpengaruh signifikan dibandingkan sekadar label partai atau jargon regulasi.


Ketika Regulasi Melunak: Pembulatan ke Bawah dan Dampaknya


Kebijakan affirmative action di Parepare menunjukkan paradoks fundamental antara kepatuhan administratif dalam pencalonan dan kegagalan substantif dalam transformasi keterwakilan perempuan. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun kuota 30% dalam daftar calon legislatif (DCL) terpenuhi secara agregat di tingkat nasional, keterpilihan perempuan di DPRD Kota Parepare hanya mencapai 24%. Angka ini jauh di bawah target ideal dan mengindikasikan kegagalan sistemik yang melibatkan tiga lapisan: regulasi, institusi partai, dan perilaku pemilih.


Distorsi regulasi menjadi salah satu akar masalah. Pemetaan regulasi menemukan adanya ketidaksejajaran normatif yang melumpuhkan efektivitas kebijakan. Pertama, disparitas antara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang mewajibkan 30% keterwakilan perempuan, dengan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang menerapkan mekanisme pembulatan ke bawah dalam penghitungan kuota per daerah pemilihan. Mekanisme pembulatan ke bawah ini secara matematis merugikan daerah pemilihan dengan alokasi kursi kecil. Misalnya, di dapil dengan 4 kursi, perhitungan 30% (1,2) dibulatkan ke bawah menjadi 1 perempuan, bukan 2. Praktik ini, meskipun terlihat teknis dan netral, secara substansial mengikis hingga 50% dari ambisi kuota di dapil-dapil tertentu, menjadikannya 'lubang' bagi aktor yang ingin meminggirkan perempuan.


Kedua, ada kesenjangan antara regulasi nasional dan implementasi teknis di tingkat lokal. KPU Pusat telah menerbitkan panduan pencalonan yang responsif gender, namun implementasinya di KPU Kota Parepare lebih fokus pada aspek administratif-formal, seperti pemeriksaan dokumen. Fungsi advokasi gender terpinggirkan dengan alasan 'menjaga netralitas penyelenggara'. Bias institusional ini mencerminkan 'the implementation gap'—celah yang terbuka ketika aturan formal tidak didukung oleh komitmen institusional yang kuat untuk memaksimalkan tujuan kebijakan.


Ketiga, ketiadaan mekanisme pemantauan pasca-pencalonan terhadap kinerja legislator perempuan terpilih. Regulasi pemilu saat ini tidak mengaitkan efektivitas affirmative action dengan kinerja substantif legislator perempuan di parlemen. Akibatnya, legislator perempuan tidak diukur berdasarkan apakah mereka aktif melakukan advokasi isu-isu gender, sehingga manfaat substantif dari kebijakan tidak terlihat di mata publik. Dari 6 legislator perempuan terpilih di Parepare, monitoring terhadap inisiatif perda responsif gender sangat minim.


Partai Politik di Persimpangan Jalan: Antara Kepatuhan dan Pragmatisme


Patologi partai politik di Kota Parepare juga menjadi hambatan serius. Partai-partai secara kolektif belum mengadopsi model kaderisasi perempuan yang sistematis dan berkelanjutan. Strategi rekrutmen calon legislatif perempuan masih bersifat ad-hoc, reaktif, dan seringkali memanfaatkan 'mobilisasi darurat' menjelang penutupan pendaftaran. Motivasi utama pencalonan perempuan adalah 'memenuhi kewajiban peraturan', bukan membangun kepemimpinan perempuan yang berkualitas. Ungkapan informan dari partai besar, "Kami harus punya 30% perempuan, tapi yang penting partai tidak kekurangan suara," mencerminkan posisi marjinal agenda gender.


Pragmatisme ini terlihat dalam tiga pola disfungsional pencalonan perempuan. Pertama, penempatan nomor urut yang tidak strategis. Dari 42 calon legislatif perempuan, 28 (66,7%) ditempatkan di nomor urut ke-4 atau lebih rendah. Padahal, dalam sistem proporsional terbuka, nomor urut 1-3 memiliki probabilitas keterpilihan jauh lebih tinggi. Praktik ini disebut 'caleg lambang' atau 'caleg obligasi'—mereka dicalonkan bukan untuk menang, melainkan hanya untuk memenuhi syarat peraturan. Ini memisahkan ambisi peraihan kursi (untuk caleg prioritas laki-laki) dan kepatuhan administratif (untuk caleg perempuan).


Kedua, kurangnya dukungan logistik dan kapasitas. Calon legislatif perempuan sering menerima alokasi dana kampanye yang tidak sebanding, kesulitan mengakses jaringan relawan partai, dan minimnya mentoring. Seorang caleg perempuan mengungkapkan, "Saya dicalonkan di urutan keempat, hanya diberi informasi tempat pelaporannya, dan tidak pernah diinformasikan ada kampanye tematik. Partai sibuk dengan nomor urut satu sampai tiga saja." Kesenjangan ini menciptakan 'ketidaksetaraan kompetitif' yang menguatkan stigma bahwa perempuan 'kurang mampu' berkompetisi secara politis.


Ketiga, instrumentalisasi perempuan dalam politik dinasti. Dari 6 legislator perempuan terpilih, 3 (50%) memiliki hubungan keluarga dekat dengan tokoh politik lokal atau pengurus partai. Fenomena 'dynastic democracy' atau 'familial politics' ini menjadikan keterwakilan perempuan sebagai alat perpetuasi kekuasaan keluarga tertentu, bukan peningkatan keterwakilan perempuan yang beragam. Perempuan yang tidak memiliki 'backing keluarga' mengalami hambatan psikologis dan struktural yang lebih besar, merasakan stereotip gender yang lebih kuat dibandingkan caleg yang memiliki 'legitimasi keluarga'.


Suara Pemilih Bergeser: Dari Identitas ke Kinerja Nyata


Salah satu temuan paling signifikan adalah pergeseran paradigma dalam rasionalitas pemilih di Kota Parepare. Berdasarkan analisis regresi linear berganda terhadap 200 responden, terungkap bahwa persepsi pemilih dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh dampak nyata kebijakan (Dampak Nyata Affirmative action, koefisien regresi 7,304), namun peran partai justru berpengaruh negatif (koefisien regresi -3,113).


Dominasi variabel 'Dampak Nyata Affirmative action' menunjukkan bahwa politik kinerja mengatasi politik identitas. Pemilih tidak lagi melihat keterwakilan perempuan sebagai isu identitas atau keadilan abstrak, melainkan sebagai isu instrumental: "Apakah legislator perempuan membawa perubahan nyata bagi hidup saya?" Mayoritas responden (74%) menyebutkan "kinerja dan program konkret" daripada "keadilan gender" atau "representasi perempuan". Seorang pemilih dari Kelurahan Soreang mengatakan, "Saya pilih legislator yang bisa bikin jalan bagus, bantu nelayan, perbaiki posyandu. Tidak peduli laki-laki atau perempuan, yang penting kerja." Ini mencerminkan 'causal attribution' rasional—pemilih mengaitkan keputusan pemilihan dengan hasil yang observable, bukan pada faktor disposisional atau ideologis. Pemilih modern di Parepare, terutama yang berpendidikan menengah ke atas, menuntut akuntabilitas berdasarkan kinerja, bukan ideologi.


Pengaruh negatif peran partai menunjukkan 'efek bumerang tokenisme'. Semakin dekat pemilih melihat bagaimana partai mengelola caleg perempuan, semakin turun persepsi positif mereka. Partai yang seharusnya menjadi aktor transformatif justru menjadi instrumen diskreditasi bagi agenda keterwakilan perempuan. Pemilih mengembangkan 'learned cynicism'—sikap jenuh dan pesimis berdasarkan pengalaman negatif berulang, melihat legislator perempuan sebelumnya "tidak berbeda dengan laki-laki dalam hal korupsi" atau "hanya menjadi boneka partai tanpa suara sendiri".


Variabel kejelasan regulasi (X1) dan pelaksanaan penyelenggara pemilu (X3) tidak signifikan secara statistik. Ini menunjukkan keterbatasan pendekatan top-down dalam membentuk persepsi publik. Meskipun KPU telah mengeluarkan berbagai panduan, informasi ini tidak terinternalisasi dalam persepsi pemilih individual. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jarak sosial antara wacana institusional KPU yang formal dan legalistik dengan bahasa sehari-hari pemilih lokal, kurasi selektif informasi di mana pemilih lebih percaya pada observasi langsung dan pengalaman personal, serta saturasi informasi di era media sosial.


Membangun Demokrasi Berkeadilan Gender: Rekonstruksi Kebijakan Holistik


Analisis holistik menunjukkan bahwa kebijakan affirmative action saat ini bekerja dalam paradigma sempit dan inkomplet, fokus pada kuota pencalonan (input-oriented), dengan asumsi implisit bahwa peningkatan jumlah perempuan dalam DCL akan otomatis meningkatkan keterpilihan dan kinerja. Realitas Parepare membuktikan asumsi ini salah.


Untuk meningkatkan efektivitas, diperlukan rekonstruksi kebijakan yang mengadopsi model integratif multitahap, dengan fokus tidak hanya pada kuota. Pertama, *Reformasi Regulasi dan Kaderisasi Partai*. Ini berarti menghapus mekanisme pembulatan ke bawah dari PKPU dan menerapkan pembulatan ke atas, memastikan kuota minimal 30% terpenuhi di setiap dapil. Regulasi harus memberikan insentif kepada partai yang melaksanakan kaderisasi berkualitas terhadap caleg perempuan, disertai sanksi tegas seperti diskualifikasi daftar calon atau pengurangan anggaran kampanye bagi partai yang tidak patuh.


Kedua, Pendampingan dan Monitoring Kampanye. Penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) perlu memperkuat fungsi advocacy dan capacity building, bukan hanya fungsi administratif. Ini mencakup workshop strategi kampanye bagi caleg perempuan, fasilitasi akses media lokal, dan monitoring real-time terhadap praktik diskriminatif dalam kampanye. Organisasi masyarakat sipil dapat dilibatkan sebagai mitra dalam monitoring dan advokasi.


Ketiga, Monitoring Kinerja dan Akuntabilitas. Setelah pemilu, perlu ada sistem monitoring terhadap kinerja legislator perempuan dalam hal inisiatif legislasi responsif gender, partisipasi dalam komisi yang relevan, dan akuntabilitas terhadap basis pemilih. Hasil monitoring ini harus dipublikasikan secara transparan agar pemilih dapat melihat dampak nyata keterwakilan perempuan dalam kebijakan lokal.


Keempat, *Pendidikan Politik Berbasis Bukti. Dengan data menunjukkan bahwa pemilih responsif terhadap dampak nyata, kampanye pendidikan politik harus berfokus pada bukti konkret. Narasi kinerja yang terukur akan lebih meyakinkan daripada slogan normatif tentang "keadilan gender." Model terintegrasi ini sejalan dengan apa yang disebut oleh Phillips sebagai "*move beyond numerics"—tidak cukup menghitung berapa banyak perempuan, tetapi lebih penting adalah apakah mereka memiliki agency, kapasitas, dan suara yang sungguh-sungguh dalam pembuatan keputusan.


Identitas Riset

Judul: Efektivitas Affirmative action dan Persepsi Pemilih terhadap Keterwakilan Perempuan di Pemilu DPRD Parepare 2024

Peneliti: Dirga Achmad, Astinah, Azlan Thamrin

Institusi: Institut Agama Islam Negeri Parepare

Tahun: 2024


Daftar Pustaka

Achmad, Dirga. “Disparitas Pengaturan Affirmative Action Terhadap Keterwakilan Perempuan Pada Hasil Pemilihan Umum Anggota DPRD Kota Parepare Tahun 2024." Parepare, 2024.