Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, orang tua kerap dihadapkan pada dilema krusial: bagaimana memastikan anak-anak mendapatkan asupan gizi terbaik yang tidak hanya sehat, tetapi juga halal. Pertumbuhan pesat industri makanan seringkali menawarkan kemudahan yang justru menyembunyikan kompleksitas gizi dan kehalalan. Bagi masyarakat Muslim Indonesia, isu ini menjadi sangat relevan, mengingat pentingnya menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan kebutuhan nutrisi optimal untuk tumbuh kembang anak usia dini.
Dalam riset berjudul “Persepsi Orang Tua Terhadap Literasi Gizi Halal Dan Sehat Anak Usia Dini Di Kota Parepare” yang dilakukan oleh Nurul Asqia dan Ulfa Dayanti dari IAIN Parepare, terungkap bahwa pemahaman orang tua mengenai literasi gizi halal dan sehat pada anak usia dini masih sangat bervariasi. Penelitian ini menyajikan gambaran menarik tentang bagaimana orang tua di PAUD SKB II Kota Parepare, Sulawesi Selatan, menavigasi tantangan ini, dengan implikasi penting bagi upaya edukasi gizi di masa depan.
Prioritas yang Berbeda: Halal Versus Gizi
Penelitian Asqia dan Dayanti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, melibatkan 12 orang tua dengan anak usia 4-6 tahun melalui observasi, wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD). Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun orang tua secara umum memahami pentingnya makanan sehat dan halal, kedalaman pemahaman mereka sangat beragam. Beberapa orang tua cenderung memprioritaskan aspek kehalalan, seringkali hanya berfokus pada logo halal pada kemasan, tanpa terlalu mendalami kandungan gizi di dalamnya. Sementara itu, kelompok orang tua lain lebih memperhatikan keseimbangan nutrisi, namun terkadang kurang teliti terhadap aspek kehalalan produk.
Responden ibu RA, misalnya, mengungkapkan bahwa prioritas utamanya saat berbelanja adalah mencari logo halal, bahkan jika ia kurang memahami label gizi. Baginya, jika sudah halal, makanan tersebut otomatis dianggap aman dan baik. Pandangan serupa, namun dengan nuansa berbeda, datang dari ibu FW yang menekankan pentingnya rutin memeriksa label halal dan tanggal kedaluwarsa, tetapi mengakui keterbatasan pemahaman tentang label gizi. Ia percaya makanan halal harus diperoleh dengan cara yang benar sesuai ajaran agama.
Kontrasnya, ibu DF menunjukkan tingkat kesadaran yang lebih komprehensif. Ia tidak hanya menekankan pentingnya label halal, tetapi juga label nutrisi. Menurutnya, tidak semua makanan halal otomatis sehat; makanan instan, misalnya, meskipun halal, bisa berdampak buruk bagi kesehatan anak. Perbedaan persepsi ini menyoroti celah pemahaman yang signifikan di kalangan orang tua, yang berpotensi memengaruhi kualitas asupan gizi anak.
Faktor Penentu Persepsi Orang Tua
Variasi persepsi ini tidak muncul begitu saja. Tim peneliti mengidentifikasi beberapa faktor yang memengaruhinya, termasuk tingkat pendidikan orang tua, akses terhadap informasi gizi, kondisi sosial ekonomi keluarga, serta latar belakang budaya dan kebiasaan keluarga. Orang tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan akses informasi yang memadai, misalnya melalui pelatihan gizi, cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik.
Namun, keterbatasan ekonomi seringkali menjadi penghalang nyata. Banyak orang tua merasa makanan sehat dan bergizi dengan label halal yang terjamin cenderung lebih mahal. Ini memaksa mereka untuk memilih opsi yang lebih murah, yang mungkin kurang ideal dari segi gizi atau kehalalan. Kebiasaan keluarga dan budaya pangan juga berperan. Makanan ringan atau instan yang murah dan mudah didapatkan seringkali menjadi pilihan, meskipun orang tua menyadari bahwa makanan tersebut tidak sehat. Ketersediaan produk halal yang bergizi di lingkungan sekitar juga menjadi tantangan tersendiri, terutama di daerah yang aksesnya terbatas.
Tantangan dalam Praktik Pemberian Makanan Sehat
Praktik pemberian makanan sehari-hari pada anak juga menunjukkan keragaman. Ibu MR, misalnya, cenderung tidak membatasi pilihan makanan anaknya, selama tidak menimbulkan alergi. Ia percaya pada kebebasan anak memilih, dengan asumsi makanan pokok yang disajikan seperti telur, tempe, sayuran, ikan, dan ayam sudah cukup. Untuk bekal sekolah, ia sering menyiapkan nugget, telur, dan nasi.
Berbeda dengan MR, ibu AH dan SA memiliki pendekatan yang lebih ketat. Ibu AH menekankan pentingnya membatasi makanan tertentu dan memastikan asupan anak halal serta sehat. Ia mencontohkan mie instan, yang meskipun halal, dapat menimbulkan penyakit jika dikonsumsi berlebihan. Ia juga menyoroti pentingnya mengenalkan konsep halal dan sehat sejak dini untuk membentuk kebiasaan makan yang positif. Ibu SA bahkan lebih tegas dalam membatasi minuman kemasan atau berwarna yang tinggi gula dan pengawet, serta aktif mengedukasi anaknya tentang jajanan sehat.
Persepsi dan praktik ini diperkuat oleh literatur yang menunjukkan bahwa pengetahuan gizi, motivasi, dan dukungan sosial memengaruhi pola makan anak. Orang tua dengan pengetahuan gizi yang baik cenderung memberikan makanan yang sesuai kebutuhan nutrisi anak. Namun, motivasi orang tua bisa jadi tergeser oleh keinginan anak, sementara pengaruh iklan dan kurangnya pemahaman label gizi juga menjadi hambatan berarti.
Membangun Ekosistem Gizi Halal yang Kuat
Temuan riset ini menggarisbawahi urgensi untuk memperkuat literasi gizi halal dan sehat di kalangan orang tua. Pendidikan yang lebih mendalam dan terintegrasi bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang perubahan perilaku dan kebiasaan. Edukasi harus mampu menjembatani kesenjangan antara pemahaman aspek halal dan kandungan gizi, sehingga orang tua tidak perlu lagi memilih salah satu, melainkan dapat mengintegrasikan keduanya.
Perlu ada kolaborasi erat antara orang tua, lembaga PAUD, dan masyarakat. Lembaga pendidikan anak usia dini dapat berperan sebagai pusat informasi dan edukasi, menyelenggarakan lokakarya atau program bimbingan bagi orang tua tentang pemilihan dan penyiapan makanan halal yang bergizi. Pemerintah dan pihak terkait juga perlu mempertimbangkan kebijakan yang mendukung ketersediaan makanan sehat dan halal yang terjangkau, terutama bagi keluarga dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Ini bisa berupa subsidi, program pangan sehat komunitas, atau regulasi yang lebih ketat terhadap labelisasi produk pangan, memastikan informasi gizi dan kehalalan mudah dipahami oleh semua kalangan. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang optimal anak-anak Indonesia, baik secara fisik, kognitif, maupun emosional.
Identitas Riset
Judul: Persepsi Orang Tua Terhadap Literasi Gizi Halal Dan Sehat Anak Usia Dini Di Kota Parepare
Peneliti: Nurul Asqia, Ulfa Dayanti
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2022
DAFTAR PUSTAKA
1. Asqia, N., & Dayanti, U. (2022).
