Di jantung Sulawesi Selatan, Tanah Toraja menawarkan lanskap budaya yang kaya, di mana tradisi leluhur bernama Aluk Todolo masih mengakar kuat, bahkan di tengah beragam keyakinan modern. Salah satu ritual paling menonjol adalah Rambu Solo, upacara kematian yang megah dan penuh makna, menjadi penanda status sosial sekaligus ekspresi duka mendalam. Namun, bagaimana jika tradisi ini harus dijalankan oleh komunitas minoritas Muslim Toraja, yang jumlahnya sekitar 11% dari total populasi? Tantangan besar muncul saat syariat Islam yang tegas bertemu dengan ritual adat yang telah berabad-abad dipraktikkan.
Dalam riset berjudul Komunikasi Religius Sinkretis: Dialektika Syariat Islam dan Ajaran Aluk Todolo Pada Upacara Rambu solo yang dilakukan oleh Tim Peneliti IAIN Parepare, fenomena unik ini dibedah mendalam. Penelitian ini berupaya memahami bagaimana Muslim Toraja bernegosiasi dan mendialogkan komitmen syariat Islam mereka dengan nilai-nilai Aluk Todolo yang tak terpisahkan dari struktur sosial-budaya mereka. Ini bukan sekadar pencampuradukan, melainkan sebuah upaya kompleks untuk menciptakan konfigurasi dinamis yang memungkinkan koeksistensi harmonis di tengah pluralisme.
Lanskap sosial-budaya Toraja memang unik, di mana identitas seseorang seringkali terikat erat pada praktik adat, termasuk Rambu Solo. Bagi Muslim Toraja, partisipasi dalam Rambu Solo menjadi dilema. Di satu sisi, ada kewajiban syariat untuk menyelenggarakan jenazah sesuai ajaran Islam; di sisi lain, ada tuntutan sosial dan kekerabatan untuk menghormati dan terlibat dalam ritual adat yang telah lama menjadi perekat komunitas. Penelitian ini menggunakan kerangka teori komunikasi religius dari Jaco Beyers dan dialog dialektis dari Mikhail Bakhtin untuk menganalisis bagaimana komunikasi transendensi dan imanensi, serta dialektika heteroglossia, dapat mencegah fragmentasi dan justru membangun pro-eksistensi.
Menjaga Keseimbangan Iman dan Adat
Fokus utama riset ini adalah membongkar mekanisme komunikasi religius yang memungkinkan minoritas Muslim Toraja melaksanakan ritual kematian tanpa mengorbankan ketauhidan. Mereka berupaya mempertahankan ritual Rambu Solo sebagai sarana menjaga hubungan kekerabatan dalam tongkonan (rumah adat) atau di antara to ma’rapu tallang (keluarga besar). Penelitian ini secara spesifik bertujuan mengungkap konstruksi komunikasi religius yang melibatkan dimensi transendensi dan imanensi dalam proses sinkretisme tersebut. Para peneliti juga menganalisis dinamika dialogis-dialektis simbolik antara Aluk Todolo dan syariat Islam dalam konteks Rambu Solo, mencari tahu bagaimana dua rezim simbolik ini dapat berinteraksi tanpa menimbulkan konflik yang merusak.
Menjelajahi Lapangan Etnografi Komunikasi
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, Tim Peneliti IAIN Parepare mengadopsi metode kualitatif dengan pendekatan etnografi komunikasi. Pendekatan ini memungkinkan para peneliti untuk menyelam langsung ke dalam kehidupan masyarakat Toraja, mengamati praktik ritual secara partisipatif, dan melakukan wawancara mendalam. Mereka berinteraksi dengan berbagai pihak kunci, mulai dari pelaku ritual dari keluarga Muslim yang melaksanakan ma’tambun, ketua adat (to parengnge), ulama, penyuluh agama, ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, hingga Ne’ imang (pemimpin ritual adat), Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ketua Nahdlatul Ulama (NU), dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tana Toraja. Beragam perspektif ini kemudian dianalisis secara tematik untuk menemukan pola dan makna yang tersembunyi dalam praktik komunikasi religius tersebut.
Dua Dimensi Komunikasi Religius dalam Rambu Solo
Temuan riset ini menguak bahwa komunikasi religius dalam Rambu Solo bagi Muslim Toraja memiliki dua dimensi yang saling melengkapi. Pertama, dimensi transendensi. Ritual kematian menjadi platform untuk mengukuhkan ketauhidan, di mana Puang Matua, entitas tertinggi dalam kepercayaan Aluk Todolo, direinterpretasi sebagai Allah SWT. Ini ditegaskan dengan mendahulukan penyelenggaraan jenazah sesuai syariat Islam, sebuah ajaran yang tidak dapat diubah berdasarkan kombongan ada’ (kesepakatan adat). Penyelenggaraan jenazah dipimpin oleh ne’imang atau tokoh agama Islam, lengkap dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dan ceramah agama yang menegaskan ajaran Islam di tengah keberagaman keyakinan lain.
Kedua, dimensi imanensi. Rambu Solo tetap dilaksanakan sebagai mekanisme pemeliharaan kekerabatan horizontal di antara to ma'rapu tallang (keluarga besar) melalui praktik ma'kombongan ada' (musyawarah adat), ma'lalan ada' (pelaksanaan adat), dan kaokkoran (pemberian sesembahan atau persembahan). Praktik-praktik ini memastikan bahwa ikatan sosial dan budaya tetap terjaga, menunjukkan bahwa ritual tidak hanya berdimensi spiritual vertikal, tetapi juga horizontal dalam membangun dan mempertahankan komunitas.
Dialektika Simbolik: Adat dan Syariat dalam Harmoni
Penelitian ini menemukan bahwa heteroglossia atau keberagaman suara dan simbol antara tahapan ritual Aluk Todolo dan prinsip syariat Islam (seperti tauhid, halal-haram) tidak berujung pada konflik terbuka. Sebaliknya, hal ini menghasilkan konfigurasi fungsional yang unik. Adat mengambil peran dalam mengurusi relasi horizontal antarmanusia dan masyarakat, sementara syariat Islam mengurusi relasi vertikal antara manusia dan Allah. Pembagian peran ini memungkinkan kedua sistem nilai untuk hidup berdampingan tanpa saling meniadakan.
Stabilitas dan kohesi sosial di Toraja dipelihara melalui mekanisme dialogis lokal yang kuat. Ada praktik siangga' (saling menghargai), siangkaran (saling membantu), dan simali' (saling berbaur secara komunal). Mekanisme ini memastikan bahwa perbedaan tidak menjadi tembok, melainkan jembatan yang memperkuat ikatan sosial. Dalam konteks Rambu Solo, tokoh agama memimpin penyelenggaraan jenazah sesuai syariat Islam, sementara tokoh adat memimpin penyelenggaraan ritual adat. Kolaborasi ini adalah kunci keberhasilan sinkretisme fungsional yang diamati.
Jalan Ke Depan: Sinkretisme sebagai Modal Sosial
Riset ini membuktikan bahwa sinkretisme religius tidak selalu berarti pencampuradukan akidah yang merusak, melainkan dapat menjadi praktik negosiasi yang bermakna antara transendensi dan imanensi dalam kehidupan beragama komunitas minoritas. Penemuan ini menawarkan kontribusi teoritis yang signifikan terhadap pemahaman komunikasi religius kontekstual dan studi agama lokal, terutama dalam masyarakat multikultural.
Lebih dari itu, temuan ini juga memberikan kontribusi praktis yang berharga. Ini dapat menjadi dasar bagi pengembangan pedoman dialog lintas agama yang lebih inklusif, khususnya di daerah-daerah dengan keragaman budaya dan agama yang tinggi. Dengan menunjukkan bahwa dialektika simbolik antara Aluk Todolo dan Islam justru menjadi modal penting bagi konstruksi kohesi sosial di era pluralisme, penelitian ini menawarkan model alternatif bagi komunitas Muslim minoritas lainnya di Indonesia. Model ini memungkinkan mereka untuk menegosiasikan identitas agama dan budaya mereka tanpa kehilangan salah satunya, melainkan merajut keduanya menjadi tapestry kehidupan yang harmonis dan resilien.
Identitas Riset
Judul: Komunikasi Religius Sinkretis: Dialektika Syariat Islam dan Ajaran Aluk Todolo Pada Upacara Rambu solo
Peneliti: Tim Peneliti IAIN Parepare
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
Tim Peneliti IAIN Parepare. 2025. Komunikasi Religius Sinkretis: Dialektika Syariat Islam dan Ajaran Aluk Todolo Pada Upacara Rambu solo. IAIN Parepare.
