تخطي للذهاب إلى المحتوى

Riset: Narasi Perdamaian Kunci Kemenangan Politik di Mamasa Pascakonflik

18 ديسمبر 2025 بواسطة
Fikruzzamansaleh

Banyak wilayah di Indonesia, terutama di bagian Timur, memiliki sejarah yang diwarnai konflik komunal dan agama. Memori pahit ini seringkali menjadi bara dalam setiap kontestasi politik, memecah belah masyarakat berdasarkan identitas. Namun, di tengah lanskap yang rentan ini, sebuah daerah di Sulawesi Barat menunjukkan jalan berbeda. Mamasa, sebuah kabupaten yang pernah dilanda ketegangan komunal dan agama signifikan di awal tahun 2000-an, kini menjadi contoh bagaimana politik dapat menjadi instrumen rekonsiliasi, bukan perpecahan.


Dalam riset berjudul “Peace-Oriented Electoral Campaigns and Political Victory: Evidence from Three Local Elections in Post-Conflict Mamasa” yang dilakukan oleh Mahyuddin Mahyuddin, Mohd Azmir Bin Mohd Nizah, Abdul Hakim Bin Mohad, dan Abd. Rasyid, terungkap bahwa kampanye politik yang berpusat pada narasi perdamaian, toleransi antaragama, dan pembangunan inklusif telah menjadi faktor penentu kemenangan elektoral dalam tiga pemilihan kepala daerah berturut-turut. Studi ini menyoroti bagaimana calon pemimpin di Mamasa berhasil mengubah dinamika pascakonflik menjadi modal politik yang kuat.


Mamasa: Dari Konflik Menuju Konsensus Politik


Mamasa, yang terbentuk sebagai wilayah administratif baru di awal tahun 2000-an, menghadapi tantangan besar. Pemekaran daerah memicu ketegangan antara komunitas Muslim dan Kristen, diperparah oleh isu etnisitas dan otonomi regional. Konflik ini meninggalkan jejak ketidakpercayaan dan perpecahan yang mendalam. Namun, alih-alih memperparah perpecahan, masyarakat Mamasa dan elit politiknya secara bertahap mengembangkan pendekatan unik dalam kontestasi elektoral. Mereka menyadari bahwa perdamaian bukan hanya tujuan moral, tetapi juga prasyarat bagi stabilitas dan legitimasi kepemimpinan.


Rekonsiliasi sebagai Modal Politik Simbolis


Penelitian ini menunjukkan bahwa kandidat yang secara konsisten membingkai kampanye mereka di sekitar rekonsiliasi, solidaritas antaragama, dan pembangunan inklusif, lebih mungkin mendapatkan dukungan luas lintas agama dan etnis. Narasi berorientasi perdamaian ini berfungsi sebagai modal simbolis. Istilah “modal simbolis” merujuk pada sumber daya non-material, seperti reputasi dan kepercayaan, yang dapat digunakan oleh aktor politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Di Mamasa, modal ini mengurangi sisa-sisa ketidakpercayaan dari masa lalu dan melegitimasi kepemimpinan dalam lanskap politik yang masih rapuh.


Ambil contoh pemilihan kepala daerah 2013. Pasangan calon H. Ramlan Badawi (Muslim) dan Victor Paotongan (Kristen) memimpin kampanye dengan strategi representasi multi-partai. Slogan mereka, “HARAPAN UNTUK SEMUA GOLONGAN”, secara eksplisit mengundang semua lapisan masyarakat untuk merasa terwakili, tanpa memandang afiliasi agama, etnis, atau kelompok sosial. Slogan ini tidak hanya menjadi narasi kampanye, tetapi juga tindakan performatif pembangunan perdamaian yang menarik bagi identitas kolektif, bukan loyalitas sektarian. Mereka berhasil memenangkan lebih dari 40% suara, jauh melampaui tujuh pasangan lainnya. Ini menunjukkan bahwa di Mamasa, pesan inklusivitas dapat menekan rumor dan fitnah yang seringkali memicu kecurigaan antaragama.


Kampanye Inklusif dan Solidaritas Antaragama


Konsistensi dalam membentuk tim kampanye yang mencerminkan keragaman agama dan etnis juga menjadi kunci. Kandidat menunjuk tokoh Muslim dan Kristen ke posisi kepemimpinan, memperkuat persepsi bahwa mereka mewakili semua komunitas. Materi kampanye menekankan konsep pembangunan, kerukunan antaragama, dan jalan damai. Analisis dokumen mengungkapkan pola konsisten “Mamasa untuk semua” sebagai pesan elektoral utama.


Fenomena ini selaras dengan teori konsosiasionalisme, yang menekankan kerja sama elit lintas divisi masyarakat sebagai fondasi stabilitas. Namun, kasus Mamasa melampaui pengaturan kelembagaan formal; inklusivitas secara aktif dikejar dalam kampanye elektoral. Identitas agama diubah dari sumber konflik menjadi aset politik bersama.


Pada Pilkada 2018, H. Ramlan Badawi kembali mencalonkan diri dengan pasangan Kristen, Marthinus Tiranda. Slogan “Mamasa Harmonis” dan “LANJUTKAN PEMBANGUNAN UNTUK SEMUA GOLONGAN” menggarisbawahi pentingnya menjaga harmoni dan kohesi sosial. Kemudian pada Pilkada 2024, pasangan Welem Sambolangi (Kristen) dan H. Sudirman (Muslim) memenangkan kontestasi dengan slogan “Mamasa Menuju Mamase”. Kata “Mamase” dalam bahasa lokal berarti “penuh cinta” atau “lembah penuh kasih sayang,” menghidupkan kembali esensi filosofis nama daerah tersebut. Slogan ini mendorong warga untuk melihat pembangunan tidak hanya dalam aspek material, tetapi juga dalam suasana sosial yang harmonis, saling menghormati, dan kepedulian.


Dari perspektif sosiologis, slogan ini adalah strategi politik yang berakar pada kearifan lokal, bertujuan memperkuat legitimasi sosial. Inisiatif pasangan pemimpin untuk mengembalikan makna asli “Mamase” berupaya membangun koneksi emosional dengan warga, sekaligus menyampaikan pesan bahwa pembangunan harus selaras dengan nilai-nilai perdamaian. Ini sejalan dengan teori integrasi sosial, di mana nilai-nilai budaya berfungsi sebagai kekuatan kohesif yang mengurangi kemungkinan konflik.


Narasi Perdamaian sebagai Strategi Kemenangan Berkelanjutan


Analisis longitudinal terhadap tiga pemilihan kepala daerah di Mamasa menunjukkan bahwa narasi perdamaian bukan hanya taktik sementara, melainkan strategi berkelanjutan yang secara konsisten berkontribusi pada kemenangan elektoral. Di awal, narasi perdamaian berfokus pada rekonsiliasi dan penyembuhan luka pascakonflik. Kemudian, konsep perdamaian berevolusi, dikaitkan dengan pembangunan dan tata kelola inklusif. Adaptabilitas ini menunjukkan interaksi dinamis antara wacana politik dan memori sosial dalam konteks pascakonflik.


Fenomena ini menantang tesis “penawaran etnis” (ethnic outbidding) yang memprediksi bahwa seruan berbasis identitas di masyarakat terpecah akan mengarah pada polarisasi yang meningkat. Sebaliknya, kompetisi elektoral di Mamasa memunculkan fenomena yang disebut “penawaran perdamaian” (peace bidding), di mana kandidat bersaing untuk menampilkan diri sebagai advokat rekonsiliasi yang lebih kredibel. Ini menunjukkan bahwa pemilihan pascakonflik dapat menumbangkan logika perpecahan dan menghasilkan dinamika politik yang inklusif.


Keberhasilan pasangan pemimpin antaragama selama tiga pemilihan berturut-turut menunjukkan munculnya budaya politik inklusi di Mamasa. Kolaborasi lintas agama dalam kepemimpinan daerah berfungsi sebagai simbol integrasi dan representasi yang adil bagi semua warga. Ini bukan sekadar strategi elektoral, melainkan ekspresi nyata modal politik berbasis rekonsiliasi, menegaskan nilai-nilai toleransi, solidaritas, dan penghormatan terhadap keragaman sebagai fondasi tata kelola lokal yang damai dan inklusif.


Apa Selanjutnya?


Pengalaman Mamasa menawarkan pelajaran berharga bagi daerah lain di Indonesia, bahkan di tingkat global, yang masih bergulat dengan warisan konflik dan polarisasi identitas. Pemerintah daerah, aktor masyarakat sipil, dan pemimpin agama perlu menginstitusionalisasikan platform dialog antaragama dan mengintegrasikan praktik tata kelola inklusif ke dalam kebijakan regional.


Penting untuk mendokumentasikan dan menyebarluaskan pengalaman Mamasa sebagai praktik terbaik. Ini akan mempromosikan budaya toleransi, kesetaraan, dan kepemimpinan kolaboratif dalam mengelola keragaman agama. Studi lebih lanjut juga harus mengeksplorasi praktik mikro-level wacana kampanye di wilayah pascakonflik lain, memperdalam pemahaman tentang bagaimana perdamaian dapat diinstitusionalisasikan melalui proses demokratis. Dengan demikian, politik tidak hanya menjadi arena kontestasi, tetapi juga jembatan untuk penyembuhan sosial dan pembangunan kepercayaan yang berkelanjutan.


Identitas Riset

Judul: Peace-Oriented Electoral Campaigns and Political Victory: Evidence from Three Local Elections in Post-Conflict Mamasa

Peneliti: Mahyuddin Mahyuddin, Mohd Azmir Bin Mohd Nizah, Abdul Hakim Bin Mohad, Abd. Rasyid

Institusi: IAIN Parepare

Tahun: 2025


Daftar Pustaka / Referensi

Allolayuk, Julianto Exel, Achmed Sukendro, and Pujo Widodo. 2024. “Strategy Of The Local Government Of Mamasa Regency In Preventing Religious Conflicts To Realize National Security.” International Journal Of Humanities Education and Social Sciences (IJHESS) 4 (2): 946-54.