Pernahkah terbayang bagaimana rasanya menelusuri lorong waktu, kembali ke Mekkah abad ke-7, dan menyaksikan langsung drama di balik turunnya sebuah wahyu? Bagi sebagian besar mahasiswa di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), studi tafsir Al-Qur'an seringkali terasa seperti perjalanan yang kering, hanya berkutat pada hafalan teks dan interpretasi yang terlepas dari konteks sosial-historisnya. Materi Asbabun Nuzul, atau sebab-sebab turunnya ayat, yang seharusnya menjadi jendela untuk memahami "jiwa" Al-Qur'an, justru kerap dianggap sebatas deretan peristiwa masa lalu yang membosankan.
Akibatnya, pemahaman mendalam tentang nilai-nilai teologis dan sosiologis yang terkandung di dalamnya sulit tercapai, memicu miskonsepsi dan rendahnya retensi memori. Dalam riset berjudul "Rekonstruksi Visual Teologis: Pengembangan Model Pembelajaran Ulumul Qur'an Berbasis Augmented Reality (Assemblr Studio) pada Materi Surah 'Abasa" yang dilakukan oleh Muzdalifah Muhammadun, Ade Hastuty Hasyim, dan Muhammad Mufti Faqih dari IAIN Parepare, sebuah terobosan signifikan telah ditemukan. Mereka mengembangkan model pembelajaran Ulumul Qur'an yang memanfaatkan teknologi Augmented Reality (AR) menggunakan platform Assemblr Studio, khususnya untuk materi Asbabun Nuzul Surah 'Abasa. Penelitian ini bukan sekadar inovasi teknis, melainkan upaya strategis untuk menghidupkan kembali narasi wahyu, menjembatani jurang antara teks klasik dan gaya belajar mahasiswa generasi digital.
Dominasi metode ceramah dan tekstual dalam pembelajaran tafsir di PTKI selama ini cenderung mereduksi kompleksitas wahyu menjadi sekadar informasi yang pasif. Mahasiswa seringkali kesulitan membayangkan situasi psikologis Nabi Muhammad SAW saat menerima teguran Allah, atau memahami dinamika interaksi antara pembesar Quraisy dengan sahabat tunanetra, Abdullah bin Umm Maktum. Fenomena ini, seperti yang diungkapkan dalam Surah 'Abasa ayat 1-10, adalah inti dari pelajaran tentang kesetaraan dan prioritas dakwah. Tanpa visualisasi yang memadai, risiko salah tafsir atau pemahaman dangkal menjadi sangat tinggi. Augmented Reality (AR) muncul sebagai solusi menjanjikan. Berbeda dengan Virtual Reality (VR) yang sepenuhnya mengisolasi pengguna dari dunia nyata, AR memperkaya realitas fisik dengan menambahkan lapisan informasi digital. Teknologi ini mampu mengubah konsep abstrak menjadi konkret, sebuah kemampuan krusial dalam memvisualisasikan kisah-kisah Al-Qur'an. Secara teoretis, pendekatan ini didukung oleh Cognitive Theory of Multimedia Learning dari Richard Mayer, yang menegaskan bahwa manusia belajar lebih efektif ketika informasi disajikan melalui kombinasi kata-kata dan gambar secara simultan—prinsip yang dikenal sebagai Dual Coding Theory. Pemilihan Assemblr Studio sebagai platform pengembangan AR bukanlah tanpa alasan.
Platform ini menawarkan arsitektur berbasis Cloud dan dukungan WebAR, yang berarti aplikasi dapat diakses melalui browser tanpa perlu mengunduh file besar. Ini mengatasi salah satu hambatan utama implementasi AR di lingkungan pendidikan, terutama di negara berkembang dengan keterbatasan perangkat dan koneksi internet. Kemudahan penggunaan dengan antarmuka drag-and-drop juga memungkinkan dosen tanpa latar belakang IT mendalam untuk menciptakan konten interaktif. Assemblr Studio menyediakan ribuan aset 3D siap pakai, mulai dari karakter hingga elemen lingkungan, yang sangat membantu dalam merekonstruksi setting sejarah Islam. Fitur Tap-to-Action memungkinkan interaktivitas, mengubah mahasiswa dari penonton pasif menjadi partisipan aktif yang mengeksplorasi materi sesuai kecepatan belajarnya sendiri. Ini menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan (joyful learning), mengurangi kebosanan, dan memicu rasa ingin tahu, elemen penting dalam memahami materi keagamaan yang padat. Dalam implementasinya pada materi Surah 'Abasa, model pembelajaran AR ini merekonstruksi lingkungan gurun Mekkah dan tenda majelis dengan aset 3D. Visualisasi Nabi Muhammad SAW digambarkan secara metaforis dengan pendaran cahaya dan kaligrafi, menjaga adab dan ishmah (kemaksuman) Nabi. Sementara itu, para pembesar Quraisy divisualisasikan dengan atribut mewah dan gestur arogan, kontras dengan Abdullah bin Umm Maktum yang sederhana dan memegang tongkat. Kontras visual ini secara efektif mendekonstruksi hierarki sosial yang berlaku pada masa itu, menjelaskan mengapa kedatangan Abdullah dianggap "mengganggu" oleh Nabi yang sedang berdakwah kepada para elit. Integrasi Dual Coding dilakukan melalui audio bacaan ayat (Qira'ah) dan narasi Voice Over tafsir yang sinkron, memperkuat jejak memori berlapis. Konsep abstrak seperti thughyan (melampaui batas) yang diasosiasikan dengan kesombongan kaum elit, dan tazkiyah (penyucian jiwa) yang direpresentasikan dengan efek cahaya pada Abdullah, menjadi lebih konkret.
Visualisasi ini membantu mahasiswa memahami bahwa yang dicari Abdullah adalah kesucian jiwa, bukan materi duniawi, menjembatani jurang antara istilah tasawuf yang abstrak dengan pemahaman yang nyata. Hasil validasi ahli menunjukkan kelayakan produk yang sangat tinggi, dengan skor rata-rata 92% dari ahli materi dan 89% dari ahli media. Ahli materi mengapresiasi pendekatan simbolik cahaya untuk Nabi sebagai solusi cerdas dalam menjaga akidah, sementara ahli media menyoroti keringanan aplikasi berbasis cloud sebagai keunggulan utama. Uji lapangan dengan metode Quasi-Experiment menunjukkan efektivitas yang signifikan. Kelas eksperimen, yang menggunakan media AR Assemblr Studio, mencapai skor rata-rata post-test 88.50, jauh melampaui kelas kontrol yang menggunakan metode konvensional (ceramah dan slide PowerPoint) dengan skor 75.20. Peningkatan pemahaman (N-Gain) pada kelas eksperimen mencapai 0.72 (kategori tinggi), sedangkan kelas kontrol hanya 0.35 (kategori sedang). Nilai Effect Size Cohen's d sebesar 1.18 menunjukkan efek yang besar dari penggunaan AR. Efektivitas ini dapat dijelaskan melalui teori Situated Cognition, di mana visualisasi AR berhasil "menempatkan" mahasiswa ke dalam konteks sosial Mekkah abad ke-7. Mahasiswa tidak hanya menghafal, tetapi merasakan dan memahami nuansa dramatis peristiwa. Interaktivitas Tap-to-Action juga memicu Enacted Cognition, di mana tindakan motorik memperkuat memori prosedural dan deklaratif. Pengalaman imersif ini, ditambah dengan muatan emosional yang terbangkitkan (empati terhadap Abdullah), berfungsi sebagai "perekat" saraf, membuat memori lebih tahan lama (imprinting), konsisten dengan temuan data tes tunda yang menunjukkan stabilitas retensi jangka panjang. Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi Augmented Reality, khususnya melalui platform seperti Assemblr Studio, memiliki potensi besar untuk merevolusi pembelajaran Ulumul Qur'an di PTKI. Ini bukan hanya tentang memodernisasi alat ajar, tetapi tentang mengembalikan "jiwa" dan relevansi emosional dari materi-materi keagamaan yang selama ini terkesan kaku. Pendekatan ini secara efektif mengatasi kejenuhan belajar dan meluruskan miskonsepsi teologis yang sering muncul dari pemahaman tekstual yang dangkal. Ke depan, institusi pendidikan Islam dapat mempertimbangkan integrasi media AR secara lebih luas dalam kurikulum. Pelatihan bagi dosen untuk mengembangkan konten AR yang relevan dan pedagogis menjadi krusial. Selain itu, riset lanjutan dapat mengeksplorasi penggunaan AR untuk materi Ahkam (hukum) pada Surah Madaniyah, yang memiliki kompleksitas interpretasi berbeda. Pengembangan fitur kuis adaptif dalam lingkungan AR juga dapat meningkatkan keterlibatan dan evaluasi pembelajaran secara lebih dinamis.
Ini adalah langkah penting untuk memastikan pendidikan Islam tetap relevan, adaptif, dan mendalam di era digital. Identitas Riset Judul: Rekonstruksi Visual Teologis: Pengembangan Model Pembelajaran Ulumul Qur'an Berbasis Augmented Reality (Assemblr Studio) pada Materi Surah 'Abasa Peneliti: Muzdalifah Muhammadun, Ade Hastuty Hasyim, Muhammad Mufti Faqih Institusi: IAIN Parepare Tahun: 2025
Daftar Pustaka 1. Al-Buthi, M S R. 2019. Fiqh As-Sirah An-Nabawiyah: Dirasat Manhajiah 'Ilmiyah.
