Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dicanangkan sebagai terobosan transformatif dalam pendidikan tinggi Indonesia. Dengan janji memperkaya pengalaman belajar mahasiswa melalui keterlibatan langsung di dunia kerja, program ini diharapkan menjembatani kesenjangan antara teori di kampus dan praktik di lapangan. Namun, di balik narasi optimisme itu, muncul pertanyaan krusial: apakah implementasi MBKM benar-benar memberdayakan mahasiswa, atau justru menyeret mereka ke dalam bentuk kerentanan baru?
Dalam riset berjudul Prekarisasi Anak Muda sebagai Agen dalam Struktur pada Program Magang MBKM di PTKIN Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh Selvy Anggriani Syarif, ditemukan bahwa pelaksanaan MBKM, khususnya program magang, memunculkan dinamika kompleks antara mahasiswa, kampus, dan industri. Pengalaman ini kerap menyoroti benturan antara tujuan pembelajaran yang idealis dengan tuntutan produktivitas yang pragmatis. Gesekan ini tidak jarang memengaruhi aspek psikologis, finansial, akademik, bahkan keamanan kerja mahasiswa, menciptakan sebuah kondisi yang disebut sebagai prekarisasi.
Memahami Prekarisasi dalam Lingkungan Kampus
Fenomena prekarisasi, yang secara umum merujuk pada kondisi kerentanan ekonomi, sosial, dan institusional akibat ketidakpastian kerja, kini merambah dunia mahasiswa. Guy Standing, dalam karyanya tentang precariat, menyoroti bagaimana fleksibilitas pasar kerja seringkali datang dengan harga ketidakamanan. Dalam konteks MBKM, mahasiswa yang menjalani magang seringkali berada dalam posisi rentan, terjebak antara status pelajar dan pelajar-pekerja tanpa perlindungan yang memadai. Mereka mungkin tidak menerima upah layak, tidak memiliki jaminan sosial, atau menghadapi ekspektasi kerja yang tidak seimbang dengan kapasitas pembelajaran mereka.
Riset ini menggunakan lensa Teori Strukturasi Anthony Giddens untuk menganalisis relasi timbal balik antara struktur dan agensi. Struktur di sini mencakup kurikulum kampus, kebijakan institusi, dan tuntutan industri, sementara agensi merujuk pada mahasiswa itu sendiri. Giddens berpendapat bahwa struktur tidak hanya membatasi, tetapi juga memungkinkan tindakan. Namun, dalam kasus magang MBKM, struktur yang ada, seperti kebijakan yang belum matang atau tuntutan industri yang dominan, justru menciptakan kondisi yang membatasi agensi mahasiswa untuk mendapatkan pengalaman yang adil dan aman.
Motivasi Mahasiswa dan Bentuk Prekarisasi
Keputusan mahasiswa untuk mengikuti program magang MBKM ternyata bersifat multidimensional. Ada yang terdorong oleh keinginan kuat untuk mendapatkan pengalaman praktis di dunia kerja, memperluas jaringan profesional, atau sekadar memenuhi persyaratan kurikulum. Bagi sebagian lain, magang menjadi jalan pintas untuk mempercepat kelulusan atau bahkan mencari peluang kerja setelah lulus. Namun, motivasi yang beragam ini seringkali tidak diimbangi dengan pemahaman yang utuh tentang risiko prekarisasi yang mungkin mereka hadapi.
Struktur kurikulum di perguruan tinggi memainkan peran signifikan dalam membentuk keputusan mahasiswa untuk mengikuti magang MBKM. Adanya kewajiban atau insentif akademik yang kuat seringkali membuat mahasiswa merasa tidak punya banyak pilihan selain terjun ke program ini, bahkan jika mereka belum sepenuhnya siap atau tidak memiliki informasi yang cukup tentang kualitas dan kondisi magang. Kurikulum yang tidak adaptif atau kurangnya panduan yang jelas justru bisa menjadi pendorong utama mahasiswa masuk ke lingkungan magang yang rentan.
Bentuk prekarisasi yang dialami mahasiswa selama magang MBKM sangat beragam. Beberapa mahasiswa melaporkan ketidaksesuaian ekspektasi dan realitas di tempat magang. Mereka berharap mendapatkan bimbingan dan pembelajaran, namun justru dihadapkan pada tugas-tugas repetitif yang minim nilai edukatif atau bahkan eksploitatif. Dampak magang pun bersifat ambivalen; di satu sisi memberikan pengalaman baru, namun di sisi lain menimbulkan tekanan psikologis, finansial, dan akademik akibat beban kerja yang berat, jam kerja yang panjang, atau minimnya kompensasi.
Peran Perguruan Tinggi dan Industri
Ironisnya, perguruan tinggi (PT) seringkali memainkan peran ganda yang tidak seimbang. Di satu sisi, PT bertanggung jawab sebagai institusi pendidikan yang melindungi mahasiswanya. Di sisi lain, mereka juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan industri melalui program magang yang produktif. Ketidakseimbangan ini terlihat ketika PT gagal memastikan bahwa mitra industri menyediakan lingkungan magang yang aman, adil, dan berorientasi pada pembelajaran. Tekanan untuk menjalin kemitraan seringkali mengalahkan prioritas perlindungan mahasiswa, membuat mereka rentan terhadap eksploitasi.
Relasi struktur-agensi dalam pendidikan tinggi Indonesia, khususnya dalam implementasi MBKM, menunjukkan adanya celah yang perlu diperbaiki. Perguruan tinggi memiliki tanggung jawab penting untuk memastikan bahwa magang bukan hanya sekadar sarana pengembangan kompetensi, melainkan juga ruang yang aman dan berkeadilan. Tanpa intervensi yang kuat dari kampus, mahasiswa akan terus menghadapi risiko prekarisasi, yang pada gilirannya dapat mengikis tujuan mulia dari program MBKM itu sendiri.
Mendesain Ulang Magang MBKM yang Adil dan Aman
Melihat temuan ini, sudah saatnya program magang MBKM dirancang ulang dengan perspektif etis yang kuat dan perlindungan sosial yang komprehensif. Perguruan tinggi harus proaktif dalam mengembangkan standar perlindungan mahasiswa yang mencakup jam kerja yang wajar, kompensasi yang adil, jaminan kesehatan, dan mekanisme pengaduan yang efektif. Ini berarti kampus perlu menetapkan kriteria seleksi mitra industri yang ketat, serta melakukan monitoring dan evaluasi berkala terhadap pelaksanaan magang.
Keseimbangan antara fungsi edukatif dan kebutuhan industri adalah kunci. Magang MBKM seharusnya bukan sekadar penyediaan tenaga kerja murah bagi industri, melainkan platform pembelajaran yang terstruktur. Perguruan tinggi harus berani menyeimbangkan tuntutan produktivitas industri dengan tujuan pendidikan yang berpusat pada pengembangan holistik mahasiswa. Ini bisa diwujudkan dengan menyusun kurikulum magang yang jelas, menunjuk dosen pembimbing yang aktif, dan memastikan adanya modul pembelajaran yang relevan selama magang.
Pengembangan kajian tentang prekarisasi mahasiswa, implementasi MBKM, serta relasi struktur-agensi dalam pendidikan tinggi Indonesia memiliki urgensi tinggi. Temuan empiris dari riset ini diharapkan menjadi acuan bagi pembuat kebijakan untuk merumuskan regulasi magang yang lebih adil dan aman. Masa depan pendidikan tinggi yang inklusif dan berkeadilan bergantung pada kemampuan kita untuk melindungi mahasiswa dari bentuk-bentuk kerentanan baru yang muncul seiring dengan inovasi program seperti MBKM.
Identitas Riset
Judul: Prekarisasi Anak Muda sebagai Agen dalam Struktur pada Program Magang MBKM di PTKIN Sulawesi Selatan
Peneliti: Selvy Anggriani Syarif
Institusi: IAIN Parepare
Tahun: 2025
Daftar Pustaka / Referensi
1. Syarif, Selvy Anggriani. 2025. Prekarisasi Anak Muda sebagai Agen dalam Struktur pada Program Magang MBKM di PTKIN Sulawesi Selatan.
