Skip to Content

Audit Ekoteologi dan Defisit Akuntabilitas PTKIN

Muhammad Suryadi R, Mahasiswa Pascasarjana  IAIN Parepare
November 18, 2025 by
Audit Ekoteologi dan Defisit Akuntabilitas PTKIN
Suhartina

Deretan kampus keagamaan di Indonesia kerap menampilkan diri sebagai ruang yang hijau, religius, dan peduli lingkungan. Baliho bertema ekoteologi Islam menghiasi halaman fakultas. Seminar tentang keberlanjutan digelar nyaris setiap bulan. Namun ketika laporan terbaru UI GreenMetric World University Rankings dirilis, topeng hijau itu tampak retak. Banyak Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) ternyata masih terjebak dalam pola lama: tatakelola lingkungan yang lemah dan defisit akuntabilitas.

PTKIN selama ini memikul beban simbolik sebagai institusi penjaga moral. Mereka mengajarkan etika ekologis, amanah, dan tanggung jawab manusia terhadap bumi. Tapi nilai luhur itu sering patah di tengah jalan ketika bertemu praktik manajerial yang buruk. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mungkin menjadi pengecualian—mampu bertahan sebagai salah satu kampus hijau terbaik. Namun kampus lain seperti UIN Alauddin Makassar, UIN Palopo, IAIN Parepare, hingga IAIN Bone masih berkutat dengan persoalan dasar: limbah yang tidak terkelola, penggunaan energi yang boros, dan infrastruktur yang tak sensitif terhadap krisis iklim.

Masalah ini bukan sekadar selisih angka peringkat. Ini adalah cermin kegagalan struktural. Kementerian Agama, sebagai otoritas pembina PTKIN, belum memiliki mekanisme pengawasan keberlanjutan yang ketat. Di banyak kampus, laporan lingkungan dibuat hanya untuk memenuhi syarat administrasi, bukan sebagai alat pertanggungjawaban publik. Inilah akar dari defisit akuntabilitas: keberlanjutan diperlakukan sebagai slogan, bukan sistem.

Borok Energi dan Biaya yang Bocor

Data konsumsi energi memperlihatkan persoalan yang lebih telanjang. Beberapa studi menunjukkan bahwa penggunaan listrik per meter persegi di kampus-kampus luar Jawa sekitar 20 persen lebih tinggi dibandingkan kampus sejenis di Jawa. Lampu menyala meski ruangan kosong. Pendingin ruangan hidup 24 jam. Keran air dibiarkan bocor. Ini bukan hanya pemborosan ekologis; ini pemborosan finansial.

Biaya operasional yang membengkak pada akhirnya ditarik dari pos yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa: Uang Kuliah Tunggal (UKT). Kenaikan tagihan listrik tercermin dalam beban UKT yang semakin berat. Di titik ini, persoalan lingkungan berkelindan dengan ketidakadilan sosial. Pengelolaan kampus yang buruk dibayar oleh mahasiswa yang tak pernah menyalakan AC di ruang dekanat.

Ironi paling besar terletak pada ketimpangan antara teori dan praktik. Ekoteologi Islam mengajarkan kesadaran ekologis, tetapi tidak sedikit kampus yang gagal mematikan saklar lampunya sendiri.

Mendesak: Laporan Keberlanjutan Kampus

Jika PTKIN ingin menebus defisit akuntabilitas itu, langkah pertama adalah menerapkan Laporan Keberlanjutan Kampus (LKK) secara serius. LKK bukan sekadar laporan. Ia adalah alat ukur etis yang menghubungkan iman dengan manajemen. Ia memaksa kampus untuk jujur tentang jejak ekologisnya sendiri—sesuatu yang selama bertahun-tahun diabaikan.

Langkah awal tidak perlu kompleks. Dua fokus cukup untuk memulai perubahan:

1. Energi yang Dicatat, Bukan Diasumsikan

Kampus harus mulai menghitung:

  • konsumsi listrik per gedung,
  • penggunaan per kapita,
  • titik pemborosan,
  • peluang efisiensi sederhana seperti sensor lampu, timer AC, dan panel surya modular.

Data ini adalah dasar untuk membangun target pengurangan energi yang realistis.

2. Limbah yang Dikelola, Bukan Disembunyikan

Hal mendasar yang selama ini diabaikan:

  • volume sampah yang dihasilkan,
  • rasio daur ulang,
  • efektivitas pemilahan,
  • jalur pergerakan limbah.

Selama data limbah tak dicatat, wacana keberlanjutan tidak lebih dari deklarasi kosong.

PTKIN yang berani membuat LKK dapat menjadi model nasional. Mereka tidak perlu mengejar ranking GreenMetric. Dengan transparansi dan konsistensi, penghargaan akan datang dengan sendirinya.

Gerakan yang Tumbuh dari Ruang Kelas

Perubahan besar sering lahir dari inisiatif kecil. Dosen dan mahasiswa justru bisa menjadi motor penggerak lewat audit mini: memetakan titik boros energi, memeriksa aliran air, atau mendokumentasikan sistem sampah di fakultas masing-masing. Data sederhana ini dapat menjadi bahan advokasi yang sahih dan sulit dibantah.

Gerakan seperti ini menghidupkan etika ekologis yang otentik—bukan karena diwajibkan, tetapi karena dipahami sebagai bentuk kepedulian moral. Ini ekoteologi yang hidup, bukan ekoteologi yang sekadar dibacakan dalam seminar.

PTKIN Harus Siap Ditagih

Di tengah krisis iklim yang menuntut tindakan cepat, PTKIN tidak bisa lagi berlindung di balik retorika. Mereka harus menunjukkan komitmen dengan data, bukan baliho. Dengan laporan keberlanjutan yang transparan, PTKIN dapat mengukur perubahan, memperbaiki kesalahan, dan memulihkan legitimasinya sebagai penjaga nilai moral bangsa.

Indikator keteladanan hari ini bukan lagi berapa banyak ayat dikutip dalam pidato, tetapi berapa kilowatt listrik yang berhasil dihemat, seberapa kecil limbah yang dihasilkan, dan seberapa serius kampus menjaga bumi yang menjadi amanah bersama. Jika PTKIN ingin dihormati, mereka harus memulai dari hal paling sederhana: menyalakan kesadaran—dan mematikan lampu yang tak perlu.

Audit Ekoteologi dan Defisit Akuntabilitas PTKIN
Suhartina November 18, 2025
Share this post
Tags
Archive