Skip to Content

Jalan Tengah

oleh Suhartina
December 14, 2025 by
Jalan Tengah
Suhartina

Aku hanyalah sebuah Toyota Corolla tua. Pelat nomorku DP 99 A. Cat hitamku masih mengilap bila disentuh matahari sore, meski sudut-sudut pintuku mulai menipis, menampakkan logam yang lelah. Setiap baret adalah penanda jalan yang tak ingin kulupa.

Sejak awal aku adalah kendaraan dinas kampus. Pagi-pagi riuh, sore yang sunyi, malam yang diisi percakapan panjang, semuanya kulalui tanpa merasa menjadi bagian dari kisah mereka… sampai ia datang.

Namanya Prof. Hannani, lahir di Pangkep, 18 Mei 1972. Begitu ia pertama kali duduk di kursi pengemudi, aku tahu ia berbeda. Kadang ia menyetir sendiri meski punya sopir. Sarung kotak-kotak, kemeja atau jas, songkok hitam, sendal kesukaannya adalah ciri khasnya. Ia juga merokok, bukan asapnya yang kusuka, melainkan ketenangan di ujung jarinya: asap keluar pelan, tatapan jauh, seolah ia sedang mengukur jarak antara hati dan pikirannya.

Rutinitasnya dimulai sebelum langit benar-benar terang. Usai subuh, ia keluar rumah, memutar kunci, menunggu deru mesinku stabil, lalu kami melaju ke pondok pesantren.

Di sana, aku parkir menghadap serambi. Dari balik kaca, kulihat barisan sandal, cahaya lampu temaram, dan suara santri mengaji yang merayap pelan seperti aliran air. Kadang ia menunduk, menepuk pundak santri, atau bercanda ringan. Pernah kulihat ia memotret seorang anak yang sedang mengeja ayat, bukan untuk dipamerkan, hanya untuk disimpan. Setelah itu, ia kembali, menepuk setirku pelan. Kode untuk melanjutkan perjalanan.

Kadang sebelum ke kampus, ia singgah sebentar di rumah sahabat atau pengurus pesantren. Obrolan mereka tak pernah lama, dua atau tiga kalimat di teras, lalu kami kembali melaju. Jalanan pagi terasa ringan; aku hafal cara ia memutar setir: lembut, tidak tergesa.

Sesampainya di rumah lagi, sebelum bersiap ke rektorat, ia selalu meneguk segelas jus tomat segar. Warna merahnya kontras dengan putih kemejanya. Embun di gelas menetes di meja makan. Baru setelah gelasnya kosong, ia melangkah keluar lagi untuk agenda hari itu.

Di rektorat, aku parkir di tempat biasa. Pintu terbuka, ia masuk ke gedung. Tak lama kemudian, ia kembali sebentar untuk mengambil berkas  dari jok belakangku, sambil memegang gelas kertas beraroma kopi.  Setelah itu, waktu berjalan sunyi.

Suatu siang usai hujan, ia masuk ke kabinku dengan langkah pelan. Pintu ditutup, napas ditarik dalam sebelum kunci diputar. Kami melaju perlahan meninggalkan halaman kampus yang masih basah. Asap rokoknya tipis, bercampur dengan udara dingin dan bau tanah yang baru disiram hujan. Aku tahu sesuatu sedang membebani pikirannya. Ia tetap tenang. Seperti biasa tangannya mantap di setir, tidak tergesa, seolah perjalanan ini tidak pernah tentang kecepatan. 

Aku mulai memahami caranya melihat dunia. Ia tidak menyebut capaian sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sesuatu yang harus dijaga agar tidak runtuh. Kampus ini telah sampai pada satu titik penting.  Prodi melaju unggul dan jumlah profesor bertambah jauh dari yang pernah dibayangkan. Perubahan itu tidak datang tiba tiba. Aku menyaksikannya lewat malam malam panjang, rapat yang berulang, dan berkas berkas yang tak pernah benar benar selesai.

Nama IAIN Parepare kini bergerak lebih jauh dari pagar kampus. Ia disebut di luar kota, di luar provinsi, di ruang ruang yang tak pernah kami datangi bersama. Kinerja risetnya diperbincangkan, posisinya diperhitungkan. Semua itu berjalan tanpa seremoni. Tidak ada spanduk, tidak ada perayaan. Seperti air yang naik perlahan, hampir tak terasa, sampai akhirnya semua orang menyadari garisnya telah berpindah.

Aku menangkap satu hal dari caranya memimpin. Ia bekerja dengan empati yang sunyi. Beban tidak diletakkan di satu bahu, melainkan dibagi agar tetap bisa dipikul. Ia tidak memaksa orang berlari, hanya memastikan tak ada yang berhenti di tengah jalan. Mesin berdengung stabil, wiper bergerak teratur. Jalanan lurus, tanpa perlu klakson.

Beberapa hari kemudian, cuaca Parepare cerah. Aku menunggu di halaman rektorat dengan kaca jendela sedikit terbuka. Ia turun tangga bersama dua dosen. Salah satunya menggenggam map cokelat dengan senyum yang tak disembunyikan. 
“Alhamdulillah, Pak Rektor, SK saya keluar juga. Terima kasih banyak,” ucapnya.

Beliau mengangguk. “Itu kerja Bapak sendiri. Saya cuma mempermudah jalannya.”

Mereka berpisah di depan pintu, dan tak lama ia masuk ke kursi pengemudi. Saat kami melaju, ia bergumam, “Kalau satu orang naik pangkat, mahasiswa dapat dosen yang lebih percaya diri. Itu yang penting.”

Saat kami melaju, aku merasakan arah itu semakin jelas. Pertumbuhan tidak lagi menjadi kecemasan, melainkan tanggung jawab. Dari satu profesor menjadi tiga belas. Dari satu unggul menjadi lima belas. Dari sekadar bertahan peringkat institut baik sekali, menjadi unggul. 

Ya,  tidak semua jalan bisa kutempuh bersamanya. Untuk perjalanan jauh atau acara resmi, kadang ia memilih Pajero hitam. Saat itu aku tinggal di parkiran, mendengar cerita lewat sela-sela hari.

Oh, iya, ada satu rutinitas lain yang sering kulalui: malam Ahad di Kopten. Kami berhenti di depan sebuah kedai kopi yang selalu ramai. Ia duduk di meja luar, dikelilingi dosen-dosen muda. Kopi panas mengepulkan aroma, asap rokok melayang pelan di bawah cahaya lampu kuning. Tawa sesekali pecah, lalu tenggelam lagi dalam obrolan serius: penelitian, bahkan cerita-cerita ringan dari masa kuliah.

Kadang topiknya bergeser ke kegiatan NU, organisasi yang, kudengar dari percakapan mereka, ia pimpin di daerah ini. Beberapa kali aku juga membawanya menghadiri acara yang dihadiri para kiai dan pengurus NU. Dari spanduk dan sambutan orang-orang, aku mengerti: selain rektor, ia juga ketua PCNU Parepare.

Aku parkir tidak jauh dari kedai kopi itu, menunggu dengan sabar. Percakapan di sana jarang selesai dalam satu malam. Ia kadang pulang larut, tetapi wajahnya justru tampak lebih segar. Seolah obrolan, kopi, dan tawa yang jujur menjadi ruang kecil untuk merapikan lelah yang tak sempat ia ceritakan di siang hari.

Dari kebiasaan itulah aku mulai paham caranya memilih jalan. Ia tidak memimpin dengan suara keras atau isyarat berlebihan, melainkan dengan ketenangan yang dijaga. Melaju tanpa bising, memberi tanpa tanda, memastikan semua tetap berada di lajurnya. Seperti setir di tangannya, hidup ia kemudikan pelan dan pasti, selalu mencari jalur yang membuat seluruh roda tetap menyentuh jalan.

Jika esok subuh datang, aku tahu persis rutenya: pondok, singgah, jus tomat di rumah, rektorat dengan kopi di meja kerja, dan sesekali malam Ahad di Kopten. Sisanya? Jalan panjang yang ia pilih untuk dijaga. Aku hanya perlu melaju, tepat di tengah.


Catatan: Cerpen ini telah diterbitkan dalam Buku Kumpulan Cerpen Parepare Makkita: Cerita Lokal Bugis yang dibiayai oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX