Awalnya benci, lama-lama jadi cinta. Kalimat sederhana ini sangat tepat menggambarkan perjalanan saya dan rekan-rekan akademisi dalam menyambut kehadiran Artificial Intelligence (AI) di dunia pendidikan. Saya masih ingat betul saat pertama kali memperkenalkan pemanfaatan AI—seperti ChatGPT, Grammarly, atau Quillbot—kepada para dosen dan mahasiswa di kampus. Ada yang menyambut dengan antusias dan rasa ingin tahu, tetapi tak sedikit pula yang menolak mentah-mentah. Bahkan, sebagian bereaksi ekstrem—mencurigai, menegur, bahkan membenci mahasiswa yang ketahuan menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas. Bagi mereka, AI adalah ancaman bagi orisinalitas, kreativitas, dan proses berpikir kritis.
Sebagaimana waktu kerap disebut sebagai penyembuh dan pengubah segalanya, demikian pula yang terjadi dalam relasi kita dengan AI. Hari ini, sulit dibayangkan bagaimana seorang dosen menyusun RPS tanpa bantuan AI, atau bagaimana mahasiswa menulis artikel ilmiah tanpa alat bantu pengecekan tata bahasa, parafrase, hingga literatur berbasis AI. Bahkan penyusunan jurnal, laporan pengabdian, dan analisis data kuantitatif pun kini telah memanfaatkan AI. AI tidak lagi diposisikan sebagai "musuh akademik", tetapi telah menjadi mitra kolaboratif yang mempercepat, mempermudah, dan memperdalam proses berpikir ilmiah.
Perjalanan dari benci menjadi cinta ini sangat relevan ketika kita kaitkan dengan wacana "Kurikulum Cinta" yang sedang digaungkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Kurikulum ini bukan tentang mata pelajaran baru yang romantis, tetapi sebuah paradigma yang ingin menanamkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, empati, dan penghormatan terhadap keberagaman. Dalam konteks tersebut, saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan reflektif: apakah mungkin AI dimasukkan secara resmi dalam kurikulum cinta?
Jawaban saya: mungkin saja, bahkan seharusnya demikian.
Mengapa? Karena AI bukan sekadar teknologi; ia adalah jembatan menuju relasi baru antara manusia, pengetahuan, dan nilai-nilai kemanusiaan. AI dapat menjadi alat yang mendekatkan, bukan menjauhkan. Dalam pendidikan agama, AI bisa menghadirkan tafsir-tematik Al-Qur’an dalam berbagai bahasa dan konteks budaya. Dalam pendidikan karakter, AI mampu menyajikan simulasi interaktif untuk menumbuhkan empati dan kepedulian sosial. Dalam dialog antariman, AI bisa memetakan nilai-nilai universal dari berbagai ajaran agama, lalu menyajikannya dalam bahasa yang akrab bagi generasi muda.
Namun, tentu saja semua itu membutuhkan bingkai nilai. Di sinilah relevansinya Kurikulum Cinta: AI hanya akan berdampak positif jika diarahkan dengan kebijakan pendidikan yang menempatkan cinta, kasih sayang, dan akhlak sebagai orientasi utama. Kita tidak bisa hanya memperkenalkan teknologi tanpa memperkenalkan etikanya. AI yang digunakan tanpa empati hanya akan menciptakan generasi cepat namun dangkal, produktif namun tidak reflektif.
Pendidikan harus menjadi ruang sintesis antara kecanggihan teknologi dan keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Kurikulum cinta yang diusung Kementerian Agama adalah langkah progresif untuk mengembalikan hakikat pendidikan: mencintai ilmu, mencintai sesama, dan mencintai lingkungan. Maka pertanyaannya bukan lagi "apakah AI punya tempat dalam kurikulum?", tetapi "bagaimana kita mendidik generasi yang mampu mencintai AI sebagai mitra belajar, bukan sebagai pelarian dari usaha belajar?"
Dalam dua tahun terakhir, dunia akademik kita telah menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa terhadap kehadiran AI. Sekarang saatnya kita melangkah lebih jauh, menyusun kerangka etis dan pedagogis yang menjadikan AI sebagai bagian dari kurikulum cinta: kurikulum yang mengajarkan bukan hanya apa yang harus dipelajari, tetapi bagaimana mencintai proses belajar itu sendiri, termasuk teknologi yang menyertainya.
Saya membayangkan masa depan kelas-kelas kita sebagai ruang kolaboratif antara manusia dan mesin. Ruang di mana AI hadir sebagai fasilitator empati, pembimbing refleksi, dan mitra dalam menyemai nilai-nilai kasih sayang. Kurikulum Cinta yang memuat AI bukan sekadar inovasi, tapi sebuah kebutuhan zaman.
Karena pada akhirnya, cinta dan teknologi harus berjalan beriringan. Tanpa cinta, teknologi menjadi dingin dan berbahaya. Tanpa teknologi, cinta bisa kehilangan daya ungkapnya di tengah zaman digital. Mari kita sambut masa depan pendidikan dengan hati yang terbuka dan dengan AI di sisi kita, bukan di belakang, apalagi di luar pagar.❤