Skip to Content

Akreditasi dan Daya Rusaknya terhadap Mahasiswa

Yahanu R.
August 8, 2025 by
Akreditasi dan Daya Rusaknya terhadap Mahasiswa
Suhartina

Dalam dunia pendidikan tinggi, akreditasi adalah kata sakral. Ia dikultuskan sebagai ukuran utama mutu institusi, program studi, dan bahkan keberhasilan mahasiswa. Namun, dalam praktiknya, instrumen akreditasi seringkali menjelma menjadi pedang bermata dua: di satu sisi mendorong perbaikan mutu, tapi di sisi lain memicu distorsi dan kerusakan sistemik dalam kehidupan akademik, terutama pada level mahasiswa.


Kekeliruan fundamental terjadi ketika akreditasi lebih diperlakukan sebagai proyek pencitraan institusi daripada refleksi mutu sejati. Alih-alih mendorong kampus agar benar-benar mendidik, akreditasi justru melahirkan budaya administratif yang menindas makna pendidikan. Data dan dokumen menjadi lebih penting dari proses. Simbol lebih utama dari substansi. Dalam situasi ini, mahasiswa menjadi korban yang tak terdengar suaranya.


Salah satu daya rusak riil dari akreditasi hari ini adalah terjadinya inflasi nilai IPK mahasiswa. Karena indikator keberhasilan institusi dinilai dari rerata IPK lulusan, maka dosen seringkali ditekan secara halus atau bahkan terang-terangan untuk memberikan nilai tinggi kepada mahasiswa. Tidak jarang, nilai A menjadi semacam “standar baru”, terlepas dari kualitas kehadiran, partisipasi, atau bahkan pemahaman mahasiswa terhadap materi kuliah.


Ironinya, tidak sedikit mahasiswa yang memperoleh IPK tinggi padahal kehadirannya di kelas minim, partisipasi diskusi rendah, dan tugas-tugasnya sekadar formalitas. Dalam skenario ini, dosen tidak lagi menjadi pendidik yang bebas menentukan standar akademik, tetapi menjadi bagian dari mesin pencetak angka untuk menyenangkan asesor dan memenuhi borang.


Daya rusak lainnya adalah pemaksaan percepatan masa studi. Akreditasi mensyaratkan bahwa mahasiswa harus lulus tepat waktu, sehingga kampus berlomba menekan mahasiswa agar menyelesaikan studinya secepat mungkin. Tekanan ini menciptakan kultur belajar yang superficial: mahasiswa didorong menulis skripsi cepat dengan tema aman dan instan, dosen membimbing secara prosedural, dan sidang skripsi menjadi ajang formalitas. Dalam proses ini, nilai ilmiah dan kedalaman analisis dikorbankan demi efisiensi waktu.


Zero Semester 9: Awal Retaknya Integritas Akademik


Kerusakan ini mulai terlihat sejak munculnya tagline “Zero Semester 9” di berbagai perguruan tinggi. Slogan ini, yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi masa studi, perlahan menjadi alat tekanan sistemik terhadap mahasiswa dan dosen. Mahasiswa tidak lagi dilihat sebagai subjek belajar yang bertumbuh dalam proses, melainkan sebagai angka yang harus lulus sebelum semester kesembilan apa pun caranya.


Alih-alih mendorong pembelajaran berkualitas, slogan ini mengubah pendidikan menjadi perlombaan waktu. Dosen didorong untuk mempercepat proses bimbingan dan penilaian. Mahasiswa dituntut menyelesaikan skripsi dengan cepat, walau kadang belum memahami metodologi penelitian dengan baik. Banyak yang akhirnya “lulus cepat tapi kosong” bergelar, tapi tanpa substansi.


Yang lebih problematik, ada gejala penghindaran proses akademik lewat persembunyian dalam program MBKM. Alih-alih menjadi sarana inovasi dan pembelajaran lintas kampus, banyak mahasiswa menjadikan MBKM sebagai jalan pintas untuk menghindari perkuliahan dan tugas-tugas akademik reguler. Program magang, proyek kemanusiaan, hingga studi independen disulap menjadi pelarian dari proses pembelajaran yang mestinya membentuk karakter dan nalar mereka. Bahkan dalam beberapa kasus, laporan kegiatan hanya direkayasa agar memenuhi bobot SKS dan mengurangi beban kelulusan.


Dalam kondisi seperti ini, akreditasi tidak lagi menjadi alat peningkatan mutu, melainkan jebakan administratif yang menyesatkan orientasi pendidikan tinggi. Kualitas pembelajaran tidak lagi dinilai dari kemampuan berpikir kritis, integritas, atau kedewasaan intelektual mahasiswa, tetapi dari seberapa rapi borang diisi dan seberapa tinggi IPK yang dicetak.


Tentu, bukan berarti akreditasi tidak penting. Akreditasi tetap diperlukan sebagai mekanisme evaluasi dan akuntabilitas publik. Namun, cara pandang terhadap akreditasi perlu diubah secara mendasar. Akreditasi harus menjadi refleksi atas kualitas riil, bukan proyek seremonial berkala. Fokus harus dialihkan dari sekadar pencapaian skor menuju penguatan proses pendidikan yang bermakna.


Dosen perlu diberi ruang otonom dalam penilaian, tanpa tekanan dari birokrasi kampus. Penilaian terhadap mahasiswa harus jujur, adil, dan edukatif. Mahasiswa harus didorong untuk tumbuh sebagai insan pembelajar, bukan pelengkap tabel akreditasi. Program seperti MBKM pun harus diawasi ketat agar benar-benar menjadi sarana pembelajaran, bukan tempat persembunyian dari tanggung jawab akademik.


Lebih dari itu, akreditasi seharusnya memberi ruang bagi keragaman dan kontekstualisasi. Kampus di Papua tidak bisa disamakan mentah-mentah dengan kampus di Jakarta. Setiap institusi punya ciri, kekuatan, dan tantangan lokal masing-masing. Maka, akreditasi harus bersifat dialogis dan lentur, bukan menyeragamkan segala hal menjadi angka-angka yang tak bernyawa.

Pendidikan tinggi semestinya menjadi ruang pembebasan, bukan sekadar produksi lulusan bergelar. Jika akreditasi justru menjadi penindas nilai-nilai akademik dan menyakiti integritas proses belajar, maka kita sedang membangun rumah besar pendidikan di atas pondasi rapuh: nilai semu, prestasi palsu, dan lulusan tanpa daya juang.


Saatnya kita bertanya dengan jujur: apakah kita ingin mencetak sarjana yang utuh sebagai manusia, atau sekadar angka di lembar asesmen?


Akreditasi dan Daya Rusaknya terhadap Mahasiswa
Suhartina August 8, 2025
Share this post
Tags
Archive