Skip to Content

Antara Milad dan Haul: Titik Temu di Bulan Juli

Muhammad Majdy Amiruddin (Dosen Ekonomi, dan Sekretaris LP2M IAIN Parepare)
August 2, 2025 by
Antara Milad dan Haul: Titik Temu di Bulan Juli
Hamzah Aziz


Bulan Juli tahun ini akhirnya pergi, pelan-pelan, tanpa gegap gempita. Tapi bagiku, Juli tak pernah biasa. Ada semacam pertemuan simbolik yang terus berulang setiap tahun. Di awal bulan, aku dilahirkan ke dunia. Di ujungnya, Gurutta Amberi Said yang kami cucu-cucunya panggil penuh sayang sebagai Etta Lallo, meninggalkan dunia. Aku lahir di hari pertama, beliau wafat di penghujung. Rasanya seperti dua ujung dari benang merah takdir yang tak sempat bertemu di simpul. Tapi entah mengapa, tetap terasa terikat. Titik temu di Bulan Juli, meski tahun yang berbeda. Tapi pertemuan itu tetap hidup, bukan di ruang fisik, tapi dalam pusaran makna yang terus menuntunku untuk mengenal siapa sesungguhnya Etta Lallo, dan apa yang bisa kuteruskan dari jejak-jejaknya.


Aku kadang iri pada saudara sepupu yang sempat bermanja dengannya. Duduk di pangkuannya, mencuri doa dari tangannya yang hangat, atau menyaksikan caranya menatap langit subuh sebelum memulai hari di pesantren. Aku tak kebagian semua itu. Hanya cerita yang diwariskan. Cerita yang datang dari Etta Muna, istrinya, nenekku yang kadang mengalir pelan saat kami duduk di serambi, ditemani suara jangkrik dan kenangan yang seakan tak pernah tua. Cerita-cerita itu seperti nyala lilin di malam panjang. Menghangatkan, tapi tak cukup menerangi seluruh ruang sejarah.


Sebagai cucu, aku bukan yang paling dekat. Sebagai alumni, aku bukan yang paling mengabdi. Sebagai cucu yang tak pernah bertemu, saya sering bertanya: adakah tempat saya dalam kisah besar itu? Saya memang tidak sepenuhnya mengabdi di pesantren, tapi saya pun mengajar, menapaki jejaknya sebagai dosen di perguruan tinggi, Fakultas Tarbiyah Parepare yang dulu masih cabang dari IAIN Alauddin . Di ruang-ruang kelas, saya melihat pantulan wajah santri dalam rupa mahasiswa; sama gelisahnya, sama bercahayanya. Barangkali inilah cara saya menyambung warisan itu: tidak selalu harus di pondok, tapi tetap dalam semangat yang sama, mendidik untuk merdeka. Tapi saya tahu, saya belum banyak berbuat. Kadang datang rasa bersalah, sebab tongkat itu berat, dan saya hanya sempat menggenggam bayangannya. Namun keyakinan saya tetap: ilmu yang diwariskan tidak akan hilang bila kita terus menulis dan menghidupkannya.


Nama Gurutta Amberi Said bagi sebagian orang adalah tokoh, bagi saya adalah teka-teki warisan. Ia lahir dari tanah Lapasu, tumbuh bersama semangat Bugis yang sabar tapi keras pada prinsip. Ia mendidik bukan hanya dengan kata, tapi dengan kedisiplinan yang menjelma jadi kebiasaan di setiap langkah. Dari sepeda yang dikayuh menjelang subuh, hingga kitab-kitab yang beliau ajarkan dengan cahaya lampu yang temaram. Di tahun 1949, tongkat kepemimpinan Pondok DDI Mangkoso diserahkan kepadanya oleh Anregurutta Ambo Dalle. Tapi Gurutta tidak mengambilnya seperti orang menerima jabatan, ia merawatnya seperti seorang ibu yang menimang anak. Pesantren baginya bukan institusi, melainkan rumah bagi akhlak yang tumbuh dan doa-doa yang tumbuh subur di atas tanah yang disiram peluh.


Yang selalu membuatku tertegun adalah nilai-nilai yang diwariskannya. Ia tak banyak meninggalkan tulisan panjang, tak ada suaranya yang terekam di jejak-jejak audio, tapi nilai-nilainya hidup dalam laku: kesederhanaan yang tidak dibuat-buat, kejujuran yang tak tergoyahkan, dan komitmen terhadap ilmu yang nyaris fana. Di zaman ini, ketika narasi besar tentang pendidikan dan moral kadang kehilangan ruhnya, figur seperti Gurutta Amberi Said menjadi mercusuar. Menyala di kejauhan, tak bising tapi tetap dituju.


Salah satu hal yang paling membekas dari beliau adalah kebiasaannya mencatat. Beliau menulis segala peristiwa, besar atau kecil, dalam buku khusus: kejadian masyarakat, dinamika pesantren, hingga pertumbuhan murid-muridnya. Bagi banyak orang, catatan itu hanyalah kumpulan tulisan tangan. Tapi bagi kami, itu adalah lembaran sejarah. Berkat tulisannya, banyak sisi sejarah DDI yang bisa dirunut dan dirawat. Ia tidak hanya menjaga bangunan fisik pesantren, tapi juga memelihara ingatan. Dan barangkali dari situ kita belajar, bahwa membangun lembaga tak cukup dengan semangat, tapi juga dengan dokumentasi dan kontinuitas.


Namun siapa yang mencatat kisah beliau? Aku tumbuh dengan fragmen-fragmen tak sempurna: potongan cerita dari keluarga, petikan pujian dari alumni senior, dan serpihan memori dari mereka yang pernah langsung mencium tangan beliau. Dari julukannya Sang Ahli Mantik dan Ulama Kharismatik oleh Sebagian santri, hingga sang penjaga toko oleh Aksa Mahmud. Namun semua itu hanya potongan kisah yang belum utuh, yang menyisakan kekhawatiran bahwa cerita tentangnya akan berhenti pada mereka yang pernah bertemu. Dan bila itu terjadi, kita kehilangan jejak yang lebih penting dari sekadar sejarah, kita kehilangan ruh. Bukankah manusia itu benar-benar mati ketika ia dilupakan? Maka saya menulis ini, bukan karena saya tahu banyak, tapi justru karena saya tahu terlalu sedikit. Saya ingin, suatu hari nanti, anak-anak saya bisa membaca dan tahu bahwa mereka pernah punya seorang leluhur yang tak hanya memimpin pondok, tapi menanam nilai. Nilai yang bisa menembus batas zaman, dari jalanan Salemo ke aula universitas, dari subuh yang sunyi ke kelas-kelas yang gaduh. Dan mungkin dari cucu yang tak sempat bertemu, bisa lahir semacam ikrar diam: untuk tidak berhenti menghidupkan namanya dengan karya dan pengabdian.


Kini, saat haulnya kembali digelar, dan kami, cucu-cucunya, alumni, kerabat, dan murid-muridnya, kembali berkumpul, aku merenung. Mungkin ia tak meminta kami membangun tugu atau gedung atas namanya. Tapi aku yakin, di kedalaman sana, ia hanya ingin agar nilai-nilai yang diperjuangkannya tetap hidup. Agar kami melanjutkan bukan sekadar struktur, tapi juga semangat. Bukan hanya mengulang cerita, tapi menjadikannya teladan. Dan jika hari ini aku menulis ini, itu adalah caraku menjaga agar Etta Lallo agar tetap hidup. Sebab selama cerita ini terus disampaikan, selama nilai-nilai itu terus dihidupi, maka ia belum benar-benar pergi.


Antara Milad dan Haul: Titik Temu di Bulan Juli
Hamzah Aziz August 2, 2025
Share this post
Archive