Skip to Content

Cinta-Ku di Pantai-Ku

Muhammad Majdy Amiruddin (Sekretaris LP2M IAIN Parepare)
July 26, 2025 by
Cinta-Ku di Pantai-Ku
Suhartina

Sore itu Pantai-Ku memelukku dengan caranya sendiri. Angin datang pelan, membawa bau asin yang menempel di kulit, seolah menulis sesuatu yang tak kasatmata di dada. Ombak berjalan menuju pasir, memukulnya pelan seperti tangan seorang ibu yang mengelus anaknya. Pantai ini, yang dulu kotor dan penuh sampah, kini tampak bersih. Aku merasa sedang berbicara dengan seorang sahabat lama yang baru saja sembuh dari sakit panjang.


Aku duduk memandangi Lila, lisa, dan Awwa yang berlarian, tertawa, dan sesekali menjerit kecil ketika ombak mengenai kaki mereka. Mereka tidak sadar bahwa tawa mereka adalah doa bagi pantai ini. Doa agar keindahan yang perlahan kembali ini tidak lagi dikhianati oleh tangan-tangan yang dulu abai.


Tak jauh, nampak seorang nelayan tua duduk diam di perahunya. Pandangannya ke arah laut. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan, tetapi garis-garis wajahnya seperti berkata: “Laut ini bukan hanya tempat mencari ikan, laut ini bagian dari hidupku.”


Aku teringat gagasan Gurutta Ali Yafie tentang Fikih Lingkungan yang kemudian dilanjutkan oleh  Prof. Nasaruddin Umar tentang eko-teologi. Ia selalu menegaskan bahwa mencintai alam adalah ibadah, dan merusaknya adalah bentuk pengkhianatan pada titipan Tuhan. Bukankah laut ini juga makhluk Allah? Bukankah pantai ini adalah amanah?


Di Pantai-Ku, Aku melihat Kurikulum Cinta berjalan tanpa papan tulis. Seorang ibu memungut botol plastik sambil berbisik kepada anaknya, “Laut ini juga makhluk Allah, Nak. Kalau kita sakiti, rezeki kita akan menjauh.” Kalimat sederhana itu adalah pelajaran tauhid paling jujur, lebih dalam dari ceramah panjang di ruang seminar. Di sinilah aku paham, Kurikulum Cinta bukan sekadar ajaran moral, melainkan pendidikan hati: mencintai Tuhan dengan menjaga ciptaan-Nya, mencintai sesama dengan merawat lingkungan yang kita bagi bersama, dan mencintai diri sendiri dengan menjaga laut yang menjadi sumber kehidupan kita.


Namun cinta itu bukan cinta buta. Bukan cinta yang menutup mata terhadap pemanfaatan sumber daya, seperti yang pernah disebut Gus Ulil dengan istilah “wahabi lingkungan.” Cinta yang kita butuhkan adalah cinta yang menjaga, tapi tetap mengizinkan roda ekonomi masyarakat pesisir berputar. Cinta yang berdiri di tengah—tidak ekstrem dalam menjaga, tidak pula serakah dalam mengeksploitasi.


Orang-orang modern mungkin menyebutnya Triple Bottom Line: People, Planet, Profit. Tapi di sini, istilah itu terasa lebih manusiawi, lebih menyerupai cinta. People adalah cinta kepada manusia—terlihat dari keluarga-keluarga yang datang, duduk bersama, dan saling tersenyum tanpa memandang siapa mereka. Planet adalah cinta kepada bumi—terlihat dari anak-anak yang memungut sampah dengan wajah ceria, seolah bermain, padahal mereka sedang menyembuhkan luka laut. Profit adalah cinta kepada kesejahteraan—terlihat dari ibu-ibu yang mulai menjual tas anyaman dari limbah plastik; bukan sekadar mencari uang, tetapi bangga karena bisa berdagang tanpa melukai bumi.


Tiga wajah cinta itu adalah sistem kehidupan. Prof. Nasaruddin pernah berkata, keberkahan rezeki datang bila kita mencarinya dengan cara yang baik. Di pantai ini, kalimat itu hidup, berdiri di atas pasir, menari bersama ombak.


Dan harapan itu tumbuh lebih besar. IAIN Parepare berencana menjajaki kerja sama dengan Mokpo University di Korea Selatan dalam kegiatan Zero Waste di Pantai-Ku. Kelak, mahasiswa kita akan duduk berdampingan dengan mahasiswa Korea, tertawa sambil memilah sampah berserakan. Mereka mungkin tak paham bahasa satu sama lain, tapi jari-jari mereka akan berbicara dalam bahasa universal: “Kami mencintai bumi.”


Pantai-Ku kini menjadi cermin. Dulu ia terluka karena kita, sekarang ia mulai sembuh juga karena kita. Jika Kurikulum Cinta benar-benar dihidupkan, jika pesan eko-teologi Prof. Nasaruddin Umar benar-benar dihayati, pantai ini akan menjadi madrasah cinta. Bukan madrasah dengan meja dan papan tulis, melainkan madrasah dengan pasir sebagai lantai, ombak sebagai suara pengajian, dan langit sebagai atapnya.


Mungkin suatu sore nanti, kita akan duduk di pasir ini, memandangi matahari yang perlahan tenggelam ke laut, dan tiba-tiba merasa hangat di dada. Saat itu kita akan sadar: pantai ini bukan hanya milik kita karena namanya Pantai-Ku. Ia milik kita karena kita telah belajar mencintainya—sebagai bagian dari cinta kita kepada Tuhan.


Cinta-Ku di Pantai-Ku
Suhartina July 26, 2025
Share this post
Archive