Skip to Content

Cinta Mengoyak Tirai Persembunyian Tuhan pada Segala Wujud

Agus Muchsin (Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Parepare)
July 26, 2025 by
Cinta Mengoyak Tirai Persembunyian Tuhan pada Segala Wujud
Suhartina

Cinta, bagi banyak orang, mungkin hanyalah perkara rasa: getar di dada, lirih di hati, atau kerinduan akan sesama. Namun dalam pandangan para sufi, cinta bukan sekadar emosi manusiawi. Ia adalah jalan. Ia adalah kunci yang bisa mengoyak tirai persembunyian Tuhan pada segala wujud.

Dalam kuliah umum Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, tersirat ajakan untuk menafsir ulang cinta dalam bingkai keilahian. Beliau menyebut bahwa seluruh pesan Al-Qur’an termaktub dalam Surah Al-Fatihah. Kandungan Al-Fatihah diringkas dalam basmalah, dan inti basmalah adalah dua nama agung: Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Keduanya bersumber dari akar kata yang sama: rahima, yang berarti kasih sayang.

Kasih sayang, dengan demikian, bukan hanya sifat Tuhan, tetapi juga hakikat paling dalam dari seluruh ciptaan. Dunia ini, dari yang indah hingga yang kelam, dari yang memikat hingga yang menakutkan, semuanya adalah manifestasi dari Wujud-Nya. Itulah ajaran cinta yang dikenalkan Ibnu ‘Arabi melalui konsep wahdatul wujûd—kesatuan wujud.

Bagi Ibnu ‘Arabi, tidak ada satu pun yang benar-benar terpisah dari Tuhan. Semua wujud, baik atau buruk menurut pandangan manusia, adalah penampakan dari Yang Esa. Maka mencintai ciptaan berarti mencintai Tuhan. Tidak ada ruang untuk kebencian mutlak, sebab semuanya berasal dari-Nya dan menuju kepada-Nya.

Perenungan seperti ini mengajak kita memandang dunia dengan mata batin: menyaksikan Tuhan dalam riak air, dalam hembus angin, bahkan dalam hati manusia yang kita benci sekalipun. “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” begitu kata para sufi. Pengenalan pada diri adalah awal dari cinta yang lebih dalam: cinta yang menembus batas rupa.

Namun cinta sejati tak selalu mudah diterima akal. Ia sering hadir dalam bentuk yang ekstrem, bahkan mengejutkan. Ibnu ‘Arabi dalam Fusûs al-Hikam mengangkat kisah Iblis bukan sebagai simbol kejahatan semata, tapi sebagai pecinta Tuhan yang tragis. Ia menolak bersujud kepada Adam, bukan karena sombong, melainkan karena keyakinannya untuk tidak menyembah selain Tuhan. Cinta Iblis adalah cinta yang mutlak—tapi keliru arah, karena kehilangan hikmah dan keseimbangan.

Barangkali, cinta seperti Iblis itu ibarat mencintai bunga tapi menolak durinya. Padahal, bunga dan duri tumbuh dari batang yang sama. Cinta yang sejati justru merangkul keduanya. Ia tidak memilah-milah wujud Tuhan; ia menyaksikan keindahan bahkan di tempat yang tak terlihat indah.

Dalam dunia yang kerap menghakimi dan memisah-misahkan, kurikulum cinta ala para sufi justru menyatukan. Ia mengajak kita untuk tidak sekadar menghafal nama Tuhan, tetapi merasakan-Nya dalam setiap tarikan napas, dalam setiap senyuman, dalam setiap peristiwa—baik manis maupun pahit.

Cinta yang sejati, sebagaimana diajarkan oleh para pecinta Tuhan, bukan hanya melembutkan hati. Ia juga menyingkapkan hakikat. Ia bukan hanya merangkul yang indah, tapi juga memahami yang gelap. Ia mengoyak tirai, dan mempertemukan kita dengan Tuhan, dalam segala wujud.

Cinta Mengoyak Tirai Persembunyian Tuhan pada Segala Wujud
Suhartina July 26, 2025
Share this post
Archive