Di tengah kemajuan teknologi dan percepatan arus informasi, manusia kerap terjebak dalam pola komunikasi yang kering, instan, dan serba praktis. Komunikasi menjadi kehilangan rohnya tidak lagi menyentuh hati, apalagi menumbuhkan kasih sayang. Dalam konteks ini, muncul keprihatinan tentang hilangnya komunikasi cinta, yaitu komunikasi yang tulus, hangat, empatik, dan menghargai eksistensi orang lain. Menilik pemikiran Prof. Dr. Hj. Nina W. Syam, komunikasi cinta adalah bentuk dari komunikasi yang manusiawi, yang kini justru semakin langka di tengah kehidupan modern yang dikuasai mesin.
Komunikasi cinta bukan sekadar bertukar kata, tetapi melibatkan perasaan, penghormatan, dan empati. Namun, masyarakat modern justru lebih sering berinteraksi dengan mesin daripada sesama manusia. Akibatnya, kepekaan perasaan menjadi tumpul. Ketika orang lebih terbiasa memberi perintah pada mesin daripada mendengarkan sesama, mereka pun terbiasa melihat orang lain sebagai objek, bukan subjek yang setara. Dalam konteks ini, cinta perlahan menjadi formalitas, bukan lagi substansi dalam komunikasi.
Sejak kecil kita dididik untuk menghargai orang lain, tetapi sering kali kita tidak diajarkan untuk mencintai diri sendiri secara sehat. Akibatnya, dalam komunikasi pun kita bisa terjebak dalam kepura-puraan, ketidakotentikan, bahkan manipulasi. Ketika cinta tidak hadir dalam komunikasi, yang tersisa hanyalah tuntutan, tekanan, dan rasa tidak aman. Komunikasi kehilangan fungsinya sebagai jembatan antarhati.
Lebih jauh, dampak dari kurangnya komunikasi cinta bisa sangat serius: keterasingan, ketidakpedulian, bahkan agresi. Orang-orang yang tidak terbiasa menerima atau menyalurkan kasih sayang akan menjadi pribadi yang apatis atau brutal. Komunikasi yang tidak manusiawi bisa menumbuhkan kekerasan, terutama ketika seseorang merasa tidak didengar atau dihargai.
Untuk menghidupkan kembali komunikasi cinta, langkah pertama adalah menyadari pentingnya rasa dalam komunikasi. Kita perlu belajar tidak hanya apa yang dikatakan, tetapi juga bagaimana dan mengapa kita mengatakannya. Komunikasi cinta lahir dari kesediaan untuk memahami, bukan sekadar mengoreksi atau memberi perintah.
Kedua, perlu dibangun ruang-ruang komunikasi yang aman secara emosional, baik di keluarga, institusi pendidikan, maupun media sosial. Sosialisasi dalam keluarga yang menanamkan nilai cinta dan empati sejak dini menjadi pondasi penting bagi terbentuknya masyarakat yang penuh kasih.
Ketiga, kita perlu membiasakan komunikasi dua arah yang sejajar dan manusiawi. Dalam komunikasi cinta, tidak ada dominasi. Baik komunikator maupun komunikan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama untuk saling mendengar dan dipahami.
Terakhir, penting untuk mengembangkan kesadaran reflektif dalam setiap percakapan. Apakah kita sedang mencintai atau sedang memanipulasi? Apakah komunikasi kita merawat atau justru melukai?
Komunikasi cinta adalah esensi dari kemanusiaan kita. Dalam dunia yang semakin mekanistik, komunikasi cinta menjadi ruang perlawanan yang lembut tetapi bermakna. Menjadi komunikator yang manusiawi berarti belajar merasakan tanpa harus larut, dan menyampaikan kasih tanpa mengorbankan integritas diri. Inilah saatnya kita mengembalikan cinta ke dalam setiap kata, agar komunikasi kita tak hanya didengar, tetapi juga menyentuh hati.