Cinta dalam Al-Qur’an bukan sekadar urusan rasa, tetapi bagian dari teologi. Setiap kasih sayang, jika ditelusuri, selalu bermuara pada anugerah Ilahi. Karena itu, kurikulum cinta dalam Islam bukan hanya pengajaran moral, tetapi pendidikan yang bersumber dari wahyu. Kata mawaddah, rahmah, hingga ḥannān dalam Al-Qur’an menunjukkan bahwa cinta memiliki lapisan-lapisan spiritual yang mendalam.
Mawaddah adalah lapisan pertama, kehangatan yang mudah dirasakan dan dibagikan. Anak-anak mengenalnya melalui senyum, pelukan, atau sepotong makanan yang dibagi. Namun, dalam perspektif teologis, mawaddah hanyalah pintu masuk menuju cinta yang lebih tinggi: cinta yang melahirkan tanggung jawab dan empati.
Tahap berikutnya adalah rahmah, kasih sayang yang menghadirkan perlindungan dan kepedulian. Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Ar-Rahman dan Ar-Rahim, menegaskan bahwa cinta bukan sekadar perasaan, tetapi tanggung jawab suci. Dalam kurikulum cinta, rahmah mengajarkan bahwa menahan amarah atau menolong teman bukan karena takut hukuman, tetapi sebagai bentuk ibadah. Cinta menjadi jalan penghambaan, bukan sekadar perasaan simpatik.
Namun, puncak dari cinta dalam teologi Islam adalah ḥannān, kata langka yang hanya sekali disebut dalam Al-Qur’an, yakni dalam pujian Allah kepada Nabi Yahya: “Wa ḥanānan min ladunnā wa zakāh” (QS Maryam: 13). Ulama menafsirkan ḥannān sebagai empati mendalam, kelembutan hati, dan kerinduan pada kebaikan. Ia bukan sekadar kesadaran moral, tetapi dorongan batin yang lahir dari anugerah langsung Allah (min ladunnā), bukan semata hasil pendidikan formal.
Menjadikan ḥannān sebagai tujuan tertinggi dalam kurikulum cinta berarti mendidik anak-anak agar merindu kebaikan bahkan sebelum diminta. Anak yang mencapai ḥannān akan menolong temannya bukan karena diperintah, tetapi karena hatinya gelisah melihat penderitaan. Guru yang mengajar karena kerinduan melihat murid tumbuh, bukan karena kewajiban. Pemimpin yang membuat kebijakan bukan demi citra, tetapi karena hatinya perih melihat rakyatnya lapar. Inilah cinta yang menjelma ibadah.
Tentu, ḥannān tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh di hati yang bersih, namun hati itu perlu dilatih—mulai dari mawaddah yang menghangatkan, rahmah yang mendewasakan, hingga akhirnya ḥannān yang melembutkan. Di sinilah peran penting guru dan orang tua: lewat sapaan lembut, pelukan tulus, dan doa yang menyertai setiap proses belajar. Anak-anak belajar cinta bukan dari hafalan ayat, tetapi dari kasih nyata yang mereka rasakan setiap hari.
Teologi cinta ini juga merupakan jawaban atas krisis kemanusiaan kita hari ini. Banyak yang berbuat baik demi pencitraan, bukan kerinduan. Padahal, kebaikan yang lahir dari ḥannān akan tulus, lembut, dan menyembuhkan. Satu senyum yang jujur lebih menenangkan dari seribu kata basa-basi. Masyarakat yang dibangun di atas ḥannān akan lebih damai, karena warganya mencintai sebagaimana seorang ibu merindukan anaknya.
Akhirnya, ḥannān adalah puncak dari teologi cinta—ia bukan sekadar moralitas, tetapi ibadah hati yang rindu. Manusia yang mencapainya akan berbuat baik bukan karena takut dosa, tetapi karena tak sanggup membiarkan penderitaan. Inilah tujuan tertinggi dari kurikulum cinta: membentuk hati yang peka, yang sadar akan kehadiran Tuhan dalam setiap tindakan. Pendidikan yang gagal menanamkan ini hanya akan melahirkan manusia patuh, tapi kering hati. Pendidikan yang berhasil akan melahirkan pribadi lembut yang menyembuhkan. Di sanalah teologi cinta menemukan maknanya, dan di sanalah kurikulum cinta mencapai tujuannya.