Skip to Content

Jika Guru Adalah Pahlawan, Maka Kiai Adalah Penjaga Peradaban

Tasrif, S.E., M.M. (Pranata Humas/Ajudan Rektor IAIN Parepare)
November 10, 2025 by
Jika Guru Adalah Pahlawan, Maka Kiai Adalah Penjaga Peradaban
Admin

Setiap 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Kita mengenang mereka yang gugur di medan perang, yang berjuang dengan darah dan senjata demi kemerdekaan. Namun, ada perjuangan lain yang tak kalah heroik, yaitu perjuangan melalui pendidikan dan nilai. Sebab bangsa tidak hanya tegak karena senjata, tetapi karena ilmu dan akhlak. Dalam konteks inilah kita mengenal dua sosok berbeda medan tapi satu misi: guru dan kiai.


Guru sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa karena mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi di luar sistem pendidikan formal, ada figur lain yang mengukir sejarah besar: kiai, sang penjaga moral dan peradaban umat. Jika guru menyalakan pelita ilmu, maka kiai menyalakan obor hidayah. Jika guru mencerdaskan akal, maka kiai mencerdaskan hati. Keduanya menjadi pilar penopang peradaban bangsa yang berilmu sekaligus berakhlak.


Dalam teori sosial Emile Durkheim, pendidikan berfungsi mentransmisikan nilai dan norma sosial agar masyarakat tetap solid. Guru dan kiai sama-sama menjalankan fungsi itu, hanya berbeda ruang gerak. Guru bekerja dalam struktur formal negara, sementara kiai bekerja dalam struktur spiritual masyarakat, menanamkan moralitas dan solidaritas berbasis iman. Dalam perspektif Max Weber, kekuasaan sosial dapat bersumber dari karisma, yaitu kekuatan moral yang lahir dari kepercayaan dan keteladanan. Di sinilah posisi kiai berdiri: ia tidak berkuasa karena jabatan, melainkan karena keikhlasan dan keteladanan. Ia menaklukkan hati bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan ilmu dan doa.


Pierre Bourdieu menegaskan bahwa kekuatan simbolik lahir dari modal simbolik, yaitu kepercayaan sosial terhadap integritas dan keilmuan. Dalam hal ini, kiai memiliki modal simbolik tertinggi: keikhlasan dan legitimasi moral. Ia dihormati bukan karena administrasi atau status sosial, tetapi karena kesucian niat dan keteguhan dakwahnya. Pemikiran ini sejalan dengan pandangan John Dewey bahwa pendidikan adalah pembentukan pengalaman moral, bukan sekadar transfer pengetahuan. Pesantren telah mempraktikkan prinsip ini jauh sebelum teori itu lahir. Di bawah bimbingan kiai, pesantren menjadi laboratorium peradaban tempat santri belajar ilmu, adab, dan spiritualitas secara terpadu.


Paulo Freire menegaskan bahwa pendidikan harus membebaskan manusia, bukan menindasnya. Dalam konteks ini, pesantren sejatinya merupakan lembaga pembebasan kultural. Kiai membebaskan umat dari kejumudan berpikir, dari penindasan kebodohan, dan dari penjajahan nilai-nilai materialisme modern. Peran kiai bukan hanya pengajar, melainkan juga mursyid, penuntun ruhani, dan pengawal moral masyarakat. Ia memimpin revolusi senyap—revolusi tanpa senjata, tetapi bersenjata nilai. Ia melahirkan peradaban dari keikhlasan dan menggerakkan perubahan dari kesunyian.


Ketika guru menyalakan api ilmu, kiai menjaga agar api itu tidak membakar kemanusiaan. Keduanya adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi: guru mencerdaskan pikiran, kiai menuntun jiwa. Sayangnya, dalam arus modernitas, bangsa ini sering lupa pada pahlawan-pahlawan sunyi itu. Kita sibuk memuja teknologi, tapi abai pada penjaga nilai. Kita bangga dengan kemajuan materi, tapi lupa bahwa peradaban tanpa moral adalah kekosongan yang berbahaya.


Dalam sejarah panjang keulamaan Nusantara, Gurutta K.H. Abdul Rahman Ambo Dalle (1900–1996) adalah simbol perpaduan antara ilmu, iman, dan nasionalisme. Ulama besar asal Soppeng, Sulawesi Selatan, pendiri Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) ini tidak hanya membangun lembaga pendidikan, tetapi membangun sistem nilai yang berakar pada keikhlasan dan pengabdian. Melalui jaringan pesantren DDI yang tersebar di berbagai provinsi, Gurutta membentuk generasi ulama, guru, dan pemimpin umat. Ia mengusung gagasan integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum jauh sebelum istilah itu populer di perguruan tinggi Islam modern. Gagasannya tentang keseimbangan ilmu dan amal menjadikannya pelopor pendidikan Islam berbasis peradaban.


Dari perspektif Weberian, Gurutta adalah figur dengan otoritas karismatik yang bukan hanya dihormati, tapi diikuti dan diteladani. Dari sudut pandang Bourdieu, ia memiliki modal simbolik yang kuat serta dihormati lintas etnis dan lintas zaman. Secara sosiologis, ia adalah agen transformasi sosial dan spiritual yang menyatukan tiga nilai besar: keislaman, keilmuan, dan kebangsaan. Gurutta adalah pahlawan tanpa senjata, tapi dengan pena dan surban. Ia tidak berperang di medan tempur, tetapi berjuang di medan ilmu. Ia tidak mengumbar kekuasaan, tetapi menanamkan akhlak. Ia bukan sekadar tokoh agama, melainkan arsitek peradaban.


Maka, pada momentum Hari Pahlawan tahun ini, sudah sepantasnya bangsa Indonesia meneguhkan pengakuan terhadap jasa beliau dengan menetapkan Gurutta K.H. Abdul Rahman Ambo Dalle sebagai Pahlawan Nasional. Pengabdiannya kepada pendidikan, dakwah, dan persatuan umat telah memenuhi semua kriteria kepahlawanan sebagaimana diatur negara: pengabdian seumur hidup demi kemaslahatan bangsa. Ia telah menanamkan gagasan bahwa pendidikan bukan sekadar proses mengajar, tetapi perjuangan membentuk manusia paripurna, yaitu manusia yang berilmu, beriman, dan beradab.


Bangsa yang besar bukan hanya menghormati pahlawannya di masa lalu, tetapi juga meneladani mereka untuk masa depan. Jika guru adalah pahlawan akal, maka kiai adalah pahlawan hati. Jika guru menyalakan ilmu, maka kiai menjaga agar ilmu itu tetap berpihak pada kebenaran. Dalam situasi bangsa yang tengah mengalami krisis moral dan disorientasi nilai, kita membutuhkan lebih banyak sosok seperti Gurutta Abdul Rahman Ambo Dalle, ulama yang berilmu, ikhlas, dan berjiwa kebangsaan. Mereka adalah benteng spiritual bangsa, fondasi peradaban yang tak tergantikan oleh teknologi apa pun.


Sudah waktunya negara menoleh ke Timur, bukan hanya untuk mencari sumber daya, tetapi untuk mengakui sumber cahaya. Cahaya peradaban dari para kiai, dari Gurutta, dari pesantren-pesantren yang melahirkan manusia beradab. Guru memang pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi kiai seperti Gurutta K.H. Abdul Rahman Ambo Dalle adalah pahlawan tanpa tanda lelah menjaga peradaban bangsa yang tak pernah padam.