Skip to Content

Kepemimpinan dalam Sunyi: Teladan Sang Kiyai

oleh Tasrif
May 18, 2025 by
Kepemimpinan dalam Sunyi: Teladan Sang Kiyai
Suhartina

Saya sering bertanya dalam hati, bagaimana jadinya jika semua pemimpin meniru cara seorang kiai memimpin? Bukan kiai yang gemar tampil di layar kaca, melainkan kiai yang duduk tenang di serambi pesantren. Ucapannya pelan, tetapi menggugah. Ia memanggil murid bukan karena kedekatan, melainkan karena murid itu layak dibimbing.

Hari ini, kita hidup di zaman ketika jabatan bisa ditukar dengan jasa. Ketika kekuasaan seolah memiliki daftar utang yang harus dibayar lunas begitu tampuk kepemimpinan digenggam. Inilah wajah investasi politik—halus cara kerjanya, tetapi kerap merusak dari dalam.

Saya menyaksikan sendiri, orang-orang hebat yang belajar dengan sungguh-sungguh dan bekerja dalam diam justru sering dilewati. Sementara mereka yang punya akses, yang tahu kapan harus datang dan kepada siapa harus dekat, melesat naik dengan mudah.

Namun, kiai tidak begitu.

Ia tidak menghitung berapa kali seseorang mengantarnya ke acara atau seberapa sering namanya disebut di forum. Ia hanya melihat satu hal: siapa yang bisa dipercaya memegang amanah.

Dalam benak sang kiai, jabatan bukan hadiah, melainkan ladang tanggung jawab yang kelak penuh hisab. Karena itu, ia tidak sembarangan menunjuk. Ia memilih mereka yang kuat pikirannya, bening hatinya, dan jernih niatnya.

Inilah, secara tidak langsung, praktik merit system yang paling hakiki.

Mereka yang belajar ilmu manajemen SDM mungkin menyebut teori ini berasal dari nama-nama besar seperti Gary Dessler atau David Ulrich. Namun, sang kiai telah menerapkannya jauh sebelum istilah itu populer.

Yang ia pakai bukan teori, melainkan nurani.

Sementara itu, di luar sana, jabatan kerap berpindah bukan karena kapasitas, melainkan karena "peran dalam perjuangan." Kadang perjuangannya pun tak jelas—sekadar hadir, berswafoto, dan menyebut nama yang tepat di waktu yang tepat.

Ironisnya, semua ini dianggap wajar.

Padahal, jika kita jujur, ini adalah bentuk pengkhianatan paling halus terhadap nilai keadilan dalam organisasi.

Saya tidak sedang menyindir siapa pun.

Saya hanya rindu pada pemimpin yang memilih orang seperti kiai memilih santrinya. Tanpa keributan. Tanpa tim sukses. Hanya karena ia tahu, amanah bukan untuk dibagi-bagi, melainkan untuk dijaga. Andai lebih banyak pemimpin mendengarkan bisikan hati, bukan bisikan politik, mungkin birokrasi kita tidak seberisik ini.

Mungkin kita bisa bekerja dengan tenang.

Mungkin anak-anak kita akan tumbuh percaya bahwa keadilan itu ada.

Dan mungkin, negeri ini akan dipimpin oleh mereka yang tidak hanya pintar, tetapi juga benar.

Dalam ulang tahunnya yang ke-53, Rektor IAIN Parepare, Prof. Dr. Hannani, M.Ag., bagi saya adalah cerminan dari sosok kiai itu sendiri—memimpin dengan tenang, menunjuk dengan hati, dan menjaga kepercayaan tanpa gaduh.

Selamat milad, Prof.

Semoga tetap sehat, bijak, dan istikamah dalam diam yang penuh makna.



Biodata penulis

Tasrif, SE., MM. adalah Asisten Pribadi (ADC) Rektor IAIN Parepare . Dengan latar belakang pendidikan di bidang ekonomi dan manajemen, ia memiliki kepakaran dalam pengelolaan organisasi serta komunikasi institusional.


Kepemimpinan dalam Sunyi: Teladan Sang Kiyai
Suhartina May 18, 2025
Share this post
Tags
Archive