Kementerian Agama Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Anregurutta Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. memperkenalkan Kurikulum Cinta, sebuah terobosan penting dalam pendidikan Islam kontemporer. Kurikulum ini mengusung semangat kasih sayang, tanggung jawab, dan keadaban sebagai landasan relasi antar manusia dan hubungan dengan Tuhan. Di balik istilah "cinta" yang tampak sederhana, tersimpan energi spiritual yang menjadi fondasi syariat Islam itu sendiri.
Dalam Islam, cinta (maḥabbah) adalah pusat dari segala gerak ruhani. Ia bukan sekadar rasa, tetapi kekuatan yang menuntun manusia mendekat kepada Allah sekaligus memperkuat ikatan sosial. Cinta adalah bahasa jiwa yang mampu melampaui formalitas hukum dan membawa manusia pada kedalaman makna syariat. Hadis qudsī yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī menyebutkan: “Jika Aku mencintai seorang hamba, Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya...” Ini menunjukkan bahwa cinta bukan hanya relasi emosional, tetapi dimensi transenden yang menghidupkan seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah, yakni tujuan-tujuan utama syariat Islam seperti perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta—cinta menjadi ruh yang menggerakkan semuanya. Tanpa cinta, syariat bisa berubah menjadi kering, mekanistik, bahkan menakutkan. Tapi dengan cinta, setiap aspek hukum dan ibadah bernapas dalam kehangatan kasih dan tanggung jawab moral.
Misalnya, dalam menjaga agama (ḥifẓ al-dīn), cinta menjadi inti keimanan. Al-Qur’an menyebut, "Orang-orang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah" (QS. Al-Baqarah: 165). Ibadah yang dilandasi cinta akan terasa nikmat, bukan beban. Seseorang yang mencintai Allah akan rindu bermunajat, jujur dalam amal, dan lembut dalam laku sosial.
Perlindungan jiwa (ḥifẓ al-nafs) pun berpijak pada cinta. Jiwa yang dipenuhi cinta akan lebih kuat menghadapi tekanan hidup, lebih tenteram dalam menjalani relasi sosial, dan lebih siap memaafkan serta berbuat baik. Rumah tangga yang diliputi cinta akan melahirkan suasana sakinah, mawaddah, dan rahmah, tiga kata kunci yang menjadi cita-cita hidup berkeluarga dalam Islam.
Begitu pula perlindungan keturunan (ḥifẓ al-nasl) tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan yang penuh cinta. Generasi muda yang tumbuh dalam lingkungan kasih sayang akan lebih mudah menyerap nilai moral dan spiritual. Pendidikan yang berangkat dari cinta tidak hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menyentuh hati, memberi teladan, dan menanamkan keikhlasan.
Sementara itu, cinta juga menjadi penjaga akal (ḥifẓ al-‘aql) dan harta (ḥifẓ al-māl). Akal yang tercerahkan oleh cinta akan menjauhi kerusakan nalar seperti kekerasan, penyimpangan, dan kebencian. Harta yang dikelola dengan cinta akan digunakan secara amanah, adil, dan bermanfaat, bukan untuk menumpuk kekayaan pribadi semata.
Pada akhirnya, bahasa cinta adalah bahasa ruhani: mengalir dari Tuhan kepada manusia, lalu dari manusia ke sesama. Ketika manusia mencintai karena Allah, maka cintanya menjadi ibadah. Mencintai orang tua, pasangan, anak-anak, bahkan seluruh makhluk, adalah pantulan dari cinta vertikal kepada Sang Pencipta. Inilah yang seharusnya menjadi jiwa dari Kurikulum Cinta.
Lebih dari sekadar pendekatan emosional, Kurikulum Cinta adalah jalan spiritual untuk mengembalikan makna pendidikan Islam yang sejati: membangun manusia seutuhnya, yang beriman, berakhlak, dan berperikemanusiaan. Ketika cinta menjadi dasar dari pendidikan dan kehidupan beragama, maka maqāṣid al-syarī‘ah tidak hanya akan tercapai, tetapi juga akan terasa hidup dan menyejukkan.