Skip to Content

Kurikulum Cinta Tak akan Hidup Tanpa Pendidik yang Mencintai

Dr. Budiman, M.H.I. (Kepala Mahaj Al-Jamiah IAIN Parepare)
September 6, 2025 by
Kurikulum Cinta Tak akan Hidup Tanpa Pendidik yang Mencintai
Suhartina

Pendidikan kerap diibaratkan obat bagi masalah sosial. Namun, bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati? Sejak awal, Islam telah meletakkan prinsip pencegahan agar keburukan tidak sempat berkembang. Salah satu konsep kunci yang merepresentasikan visi ini adalah Sadd al-Zarī‘ah—menutup jalan yang berpotensi mengantar pada kerusakan (mafsadah). Imam Mālik menekankan pentingnya pendekatan ini. Menurutnya, perbuatan yang tampak mubah sekalipun, bila berisiko menimbulkan kerusakan, harus dicegah sejak dini. Prinsip ini sejalan dengan firman Allah Swt.:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S. Al-Isrā’: 32)

Ayat ini tidak hanya melarang zina, tetapi juga melarang “jalan” yang dapat mengantarkan padanya. Inilah esensi Sadd al-Zarī‘ah: menutup celah sebelum kerusakan terjadi.

Berbeda dengan Imam Mālik, Imam al-Syāfi‘ī lebih berhati-hati. Ia menolak penerapan Sadd al-Zarī‘ah jika hanya berdasar dugaan lemah, namun menerimanya bila potensi kerusakan jelas dan nyata. Sikap ini dikenal dengan prinsip iḥtiyāṭ (kehati-hatian). Misalnya, beliau menolak kesaksian orang yang gemar berdusta dalam hal kecil, karena kebiasaan itu bisa merusak keadilan dalam perkara besar. Dengan demikian, semangat preventif tetap terjaga, meski dalam bingkai yang lebih selektif.

Bagaimana relevansi prinsip pencegahan ini bagi dunia pendidikan? Salah satu jawabannya ada pada gagasan kurikulum berbasis cinta—sebuah visi pendidikan yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menumbuhkan kasih sayang, kepedulian, dan perlindungan terhadap generasi.

Dalam kerangka fikih, setidaknya ada tiga titik temu yang bisa ditarik:

  1. Humanis sekaligus preventif. Kurikulum cinta mendidik dengan kasih sayang, tetapi tetap menanamkan kewaspadaan. Cinta tanpa arah bisa berubah menjadi kebebasan yang merusak. Dengan perspektif Imam Mālik, cinta dijaga agar tidak jatuh menjadi nafsu. Dengan prinsip Imam Syāfi‘ī, kasih sayang tetap dalam bingkai syariat.
  2. Mencegah lebih baik daripada mengobati. 

            Rasulullah Saw. bersabda:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang memaksakan diri dalam agama ini kecuali ia akan dikalahkan oleh kesulitannya.” (HR. al-Bukhārī).

        3. Kesadaran akan konsekuensi. 

             Setiap tindakan melahirkan akibat. Karena itu, pendidikan tidak cukup hanya mentransfer ilmu, tetapi juga                     membentuk karakter. Mengabaikan aspek preventif berarti membiarkan generasi menghadapi globalisasi                     tanpa kompas moral.

Imam Mālik mewariskan fondasi pencegahan visioner melalui Sadd al-Zarī‘ah, sementara Imam al-Syāfi‘ī menghadirkannya dalam bentuk kehati-hatian yang proporsional. Jika filosofi ini dipadukan dalam kurikulum berbasis cinta, maka pendidikan Islam akan melahirkan generasi yang berilmu, beradab, mencintai kebaikan, dan waspada terhadap keburukan.

Dengan begitu, pendidikan bukan hanya proses transfer pengetahuan, tetapi juga benteng moral dan spiritual yang menjaga masa depan bangsa.

Kurikulum Cinta Tak akan Hidup Tanpa Pendidik yang Mencintai
Suhartina September 6, 2025
Share this post
Tags
Archive