Di tengah geliat dunia kerja yang semakin kompetitif, kita kerap mendengar istilah sumber daya manusia yang unggul. Pembicaraan tentang digital skill, kepemimpinan, dan ketahanan kerja seolah menjadi menu wajib dalam setiap forum pengembangan talenta masa depan. Namun, ada elemen yang sering kali terabaikan dalam lanskap pembangunan SDM masa depan terutama pada Gen Z yang juga dijuluki generasi s​trawberry. Kemampuan mencintai secara sehat, kedewasaan emosional, mental yang kuat, dan membangun relasi yang sehat kerap kali terlewatkan. Di sinilah konsep kurikulum cinta menemukan relevansinya bukan sebagai pelajaran romantisme remaja, melainkan sebagai fondasi pembentukan karakter dan kecerdasan emosional, khususnya bagi generasi Z.
Generasi Z tumbuh dalam era serba digital yang melek teknologi, terbiasa multitasking, dan sangat adaptif terhadap perubahan. Mereka aktif di media sosial, cepat menyerap informasi, dan vokal dalam menyuarakan aspirasi. Namun, di balik semua keunggulan itu mereka juga dihadapkan pada tantangan emosional yang tidak ringan. Kesepian, kecemasan sosial, hingga relasi interpersonal yang rapuh selalui menghantui hidupnya. Banyak dari mereka yang lihai menyusun strategi karier, tetapi kesulitan memahami bahasa cinta dan cara mencintai tanpa melukai.
Pendidikan kita selama ini terlalu menitikberatkan pada kemampuan kognitif. Kita pandai mencetak lulusan yang mahir berhitung, menghafal teori, dan menyelesaikan soal ujian. Namun, kita sering kali lupa mendidik mereka agar mampu mengelola perasaan, membangun relasi yang sehat, serta memahami makna cinta sebagai proses tumbuh bersama bukan sekadar perasaan sesaat. Padahal, realitas hidup lebih banyak menantang kita di ranah relasi dibandingkan persoalan teknis.
Kurikulum cinta jika diletakkan dalam kerangka yang tepat, bukanlah konsep absurd. Ia justru menjadi jembatan antara pendidikan emosional dan penguatan karakter yang selama ini hanya disentuh secara sporadis dalam sistem pendidikan formal. Dalam kurikulum cinta peserta didik tidak diajarkan untuk berpacaran, melainkan diajak memahami nilai-nilai kasih sayang, menghormati batasan diri dan orang lain, mengenali bentuk relasi yang sehat, serta membangun komunikasi yang empatik dan setara.
Kementerian Agama pernah memperkenalkan gagasan ini, terutama dalam konteks pendidikan agama dan keluarga. Sebuah langkah yang patut diapresiasi, meskipun belum terlembagakan secara menyeluruh. Konsep cinta dalam Islam misalnya, bukan sekadar perasaan antara dua insan melainkan mencakup tanggung jawab, kesetiaan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Maka, ketika nilai-nilai tersebut dimasukkan ke dalam dunia pendidikan, kita sesungguhnya sedang menyiapkan generasi yang tidak hanya religius dalam ritual, tetapi juga dewasa dalam membangun hubungan.
Dari sudut pandang manajemen sumber daya manusia, kurikulum cinta juga menemukan urgensinya. Dunia kerja masa kini tidak lagi hanya menilai kompetensi teknis, melainkan juga kecakapan interpersonal. Karyawan yang mampu mengelola konflik, bekerja sama dalam tim, dan memahami emosi diri serta orang lain akan lebih adaptif dalam menghadapi tekanan kerja. Pemimpin yang tumbuh dengan nilai empati dan kasih sayang cenderung lebih inklusif dan tidak menindas.
Kemampuan menjalin relasi yang sehat tidak datang dengan sendirinya. Ia dibentuk, dilatih, dan ditumbuhkan melalui proses pendidikan yang sadar. Di sinilah kurikulum cinta berperan sebagai langkah preventif terhadap maraknya kekerasan dalam pacaran, pernikahan tanpa kesiapan mental, hingga relasi sosial yang toksik. Pendidikan tidak bisa terus-menerus membiarkan anak muda belajar cinta secara otodidak, apalagi melalui potongan konten media sosial yang sering kali dangkal dan menyesatkan.
Bagi generasi Z, literasi cinta dan relasi adalah kebutuhan, bukan sekadar pelengkap. Mereka hidup dalam dunia yang cepat berubah, penuh kompetisi, dan sarat tekanan sosial. Jika pendidikan tidak memberikan ruang untuk menumbuhkan kecerdasan emosional, maka akan lahir generasi yang cerdas dalam logika tetapi gagap dalam membangun cinta baik kepada diri sendiri, keluarga, pasangan, maupun masyarakat.
Sudah waktunya pendidikan Indonesia berani bergerak melampaui batas-batas tradisionalnya. Kurikulum cinta bisa diintegrasikan secara kontekstual dalam mata pelajaran agama, pendidikan karakter, hingga bimbingan konseling. Materinya bisa disesuaikan dengan jenjang usia, disampaikan dengan pendekatan naratif dan reflektif, serta melibatkan tokoh agama, guru, dan psikolog.
Karena pendidikan yang baik bukan hanya mencetak manusia yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membentuk manusia yang tahu bagaimana mencintai dengan bijak, menyayangi tanpa melukai, dan membangun hubungan yang saling menguatkan. Dalam dunia yang semakin individualistis, mencetak SDM yang matang secara emosional adalah bentuk investasi jangka panjang yang tak ternilai.