Setiap tahun, umat Islam di Indonesia merayakan Maulid Nabi Muhammad ﷺ dengan gegap gempita. Namun, perayaan seharusnya tidak berhenti pada seremoni. Ini adalah momen refleksi: sejauh mana kita meneladani beliau sebagai pahlawan sejati?
Thomas Carlyle, filsuf asal Skotlandia, dalam On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841, edisi Indonesia 2018), menegaskan bahwa sejarah dibentuk oleh “manusia besar”, para pahlawan yang memberi arah moral, spiritual, dan sosial bagi peradaban. Carlyle bahkan menyebut Nabi Muhammad ﷺ sebagai salah satu tokoh terbesar dunia karena keberanian, kejujuran, dan ketulusannya. Ironisnya, tiga karakter ini justru makin sulit ditemukan di Indonesia hari ini:
1. Keberanian
Rasulullah ﷺ berani menyampaikan risalah tauhid meski menghadapi tekanan Quraisy. Kini, keberanian dibutuhkan dalam bentuk moral: melawan korupsi walau berhadapan dengan mafia kekuasaan, menolak suap meski risikonya kehilangan jabatan, meluruskan hoaks di media sosial meski dibully warganet.
Masalah kita jelas: budaya takut melawan ketidakadilan membuat kejahatan struktural berulang. Solusinya, generasi muda harus dibesarkan dengan mental berani; berani bersuara, berani berbeda, berani memperbaiki diri. Bangsa yang dipenuhi generasi berani adalah bangsa yang siap menghadapi perubahan global, bukan sekadar penonton sejarah.
2. Kejujuran
Sejak muda, Nabi ﷺ digelari al-Amīn, yang terpercaya. Gelar itu lahir dari konsistensi beliau menjaga kejujuran dalam ucapan dan tindakan. Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi sering kekurangan orang jujur. Praktik jual beli nilai di sekolah, manipulasi data proyek, hingga rekayasa hukum, semuanya berakar dari hilangnya kejujuran.
Masalah bangsa ini adalah krisis integritas. Harapannya, kita membangun budaya jujur sejak rumah, diperkuat di sekolah, lalu ditegakkan di institusi publik. Bila generasi baru tumbuh dengan kejujuran, pembangunan akan berdiri di atas fondasi kokoh, bukan bangunan indah yang rapuh dari dalam.
3. Ketulusan
Nabi ﷺ berdakwah murni demi kebenaran, bukan kepentingan pribadi. Tanpa ketulusan, keberanian bisa berubah menjadi arogansi, dan kejujuran bisa jadi pencitraan. Kita melihat pejabat yang tampak “berani” bersuara keras, tetapi sesungguhnya demi panggung politik. Ada pula tokoh yang tampak “jujur” di depan kamera, tetapi di balik layar penuh strategi manipulasi.
Namun, ketulusan belum hilang sepenuhnya. Kita melihatnya pada Dr. Lie Dharmawan dengan Rumah Sakit Apung-nya, pada guru-guru di pelosok Papua dan NTT yang tetap mengajar meski gaji minim, serta pada relawan bencana yang tanpa pamrih hadir di Palu, Lombok, dan Cianjur. Mereka membuktikan bahwa ketulusan adalah energi yang membuat bangsa ini tetap bernapas di tengah krisis moral.
Enam Jenis Pahlawan Carlyle dan Cermin Indonesia
Carlyle membagi pahlawan dalam enam kategori, dan semuanya punya cermin di Indonesia:
1. Hero as Prophet: Nabi Muhammad ﷺ sebagai teladan agung. Di Nusantara, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan mewarisi semangat profetik lewat pendidikan dan kebangsaan
2. Hero as Poet: Chairil Anwar membakar semangat kemerdekaan lewat puisi.
3. Hero as Priest: Buya Hamka memimpin moral bangsa lewat tafsir dan karya sastranya.
4. Hero as Man of Letters: Gus Dur dan Nurcholish Madjid mengubah arah berpikir umat dan bangsa.
5. Hero as King: Soekarno dengan pidato heroiknya memimpin rakyat melawan kolonialisme.
6. Hero as Divinity: Dalam budaya lokal, tokoh mitologis seperti Sawerigading dikenang karena keberanian dan kepemimpinan.
Pesannya jelas: pahlawan tidak hanya lahir di medan perang, tetapi juga di ruang kelas, mimbar, pena, kebijakan publik, dan aksi sosial.
Maulid Nabi adalah saat yang tepat untuk menimbang diri: apakah kita hanya merayakan kelahiran Rasulullah ﷺ, atau sungguh menghadirkan sifat beliau dalam kehidupan?
Hari ini, masalah bangsa kita adalah krisis pahlawan yang berani melawan kebobrokan, jujur di tengah sistem korup, dan tulus bekerja tanpa pamrih. Harapannya, generasi baru Indonesia tumbuh dengan tiga karakter ini, sehingga bangsa ini tidak hanya punya pesta perayaan, tetapi benar-benar meneladani Nabi Muhammad ﷺ dalam kehidupan nyata.