Skip to Content

Membangun Cinta melalui Empat Pilar Persaudaraan

Dr. A. Nurkidam, M. Hum. (Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah)
July 24, 2025 by
Membangun Cinta melalui Empat Pilar Persaudaraan
Suhartina

Malam ini saya teringat kembali dinamika arah pendidikan kita. Dulu kita sempat terkaget-kaget saat Kurikulum MBKM mulai bergulir. Belum habis rasa heran itu, muncul pula istilah OBE (Outcome-Based Education), yang lagi-lagi membuat kita bertanya: ke mana arah pendidikan ini sesungguhnya? Sekarang, tiba-tiba kita mendengar istilah baru: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).


Kurikulum berbasis cinta. Kedengarannya utopis, tapi sesungguhnya sangat manusiawi. Ia bukan tentang romantisme kata, melainkan tentang bagaimana pembelajaran dijalankan dengan kasih sayang. Dalam ranah humaniora, pembelajaran yang sejati selalu mengarah pada bagaimana manusia memanusiakan manusia. Memandang orang lain bukan sebagai objek hasil evaluasi, tetapi sebagai sesama ciptaan Tuhan yang punya harapan dan punya jalan hidup masing-masing.


Dalam Islam, kita percaya bahwa manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Maka tugas kita bukan hanya mengurus angka dan target, tapi menjaga harmoni. Harmoni dengan sesama manusia. Harmoni dengan alam sekitar. Harmoni dengan makhluk lainnya. Tentu, harmoni dengan Sang Khalik.


Kurikulum berbasis cinta bukan semata soal pendekatan pengajaran, tapi soal relasi. Relasi yang ditenun dengan kelembutan, bukan kekuasaan. Dibangun dengan kepercayaan, bukan ketakutan. Untuk mewujudkan itu, ada empat pilar persaudaraan yang menjadi fondasi utama:

1. Ukhuwah Islamiyyah – persaudaraan sesama muslim yang terikat oleh keimanan dan nilai-nilai Ilahiyah.

2. Ukhuwah Wathaniyah – persaudaraan kebangsaan yang mengajarkan bahwa tanah air ini milik bersama, bukan milik golongan tertentu.

3. Ukhuwah Basyariyah – persaudaraan sebagai sesama manusia, terlepas dari agama, ras, atau suku.

4. Ukhuwah Makhlukiyah – persaudaraan dengan seluruh makhluk hidup, sebab alam pun punya hak untuk dicintai dan dijaga.


Jika empat pilar ini kita tanamkan dalam proses pendidikan, baik di ruang kelas maupun dalam interaksi sosial kampus, maka cinta itu akan menjelma menjadi gerak hidup. Bukan slogan. Bukan sekadar program. Namun, laku yang nyata.


Bayangkan sejenak, jika pembelajaran kita diwarnai oleh cinta, barangkali suasana ruang kerja dan ruang kelas akan terasa lebih lapang. Tak akan terdengar lagi suara yang saling meninggi hanya demi merasa lebih benar. Perintah pun tak lagi terasa sebagai tekanan, sebab ia lahir dari pengertian, bukan sekadar jabatan.

Ilmu tak akan menjelma jadi alat untuk merendahkan, dan kecerdasan tak lagi jadi alasan untuk mencederai. Dalam ekosistem seperti ini, tak ada lagi bawahan yang merasa perlu membantah hanya karena tak merasa didengar, dan tak ada pula pimpinan yang bersikeras merasa paling tahu hanya karena gelarnya lebih panjang.

Menurut teori Transformational Leadership yang dikembangkan oleh Bass dan Avolio, kepemimpinan yang berhasil bukanlah yang memaksa, tetapi yang mampu menginspirasi dan memfasilitasi pertumbuhan. Pemimpin bukan hanya penyampai instruksi, melainkan penanam harapan.

Spirit inilah yang  tampak nyata dalam kepemimpinan di kampus ini. Bukan dengan retorika besar, tetapi dengan kebijakan-kebijakan kecil yang menghidupkan suasana. Rektor IAIN Parepare hadir seperti oasis di tengah gersangnya relasi birokratis yang seringkali lebih sibuk dengan formalitas daripada nurani. Beliau mencontohkan bahwa menjadi pemimpin bukan sekadar soal wewenang, tetapi tentang bagaimana menciptakan ekosistem yang sehat, di mana setiap orang merasa dilihat, didengar, dan disambut dengan penghargaan. Maka yang lahir adalah ruang-ruang aman, bukan untuk saling menyembunyikan luka, tetapi untuk saling menyembuhkan. Tempat di mana menjadi diri sendiri bukanlah sebuah ancaman, tapi bagian dari kolaborasi.

Inilah cita-cita KBC. Sebuah harapan kecil, tapi jika kita jalani bersama, bisa menjelma menjadi jalan menuju negeri yang tenang, adil, dan penuh rahmat. Negeri yang disebut dalam doa-doa: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Karena pada akhirnya, pendidikan yang tidak dilandasi cinta hanya akan melahirkan kepintaran yang kering. Namun, pendidikan yang berakar dari cinta itulah yang akan melahirkan generasi yang berakal sekaligus berperasaan.

Membangun Cinta melalui Empat Pilar Persaudaraan
Suhartina July 24, 2025
Share this post
Archive