Di tengah krisis moral, meningkatnya kekerasan remaja, dan renggangnya hubungan sosial, gagasan tentang kurikulum cinta kembali menjadi relevan. Bukan sekadar idealisme romantik, kurikulum cinta merupakan strategi membentuk masyarakat yang menjunjung tinggi kasih sayang, empati, dan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, sosiologi hukum Islam memiliki peran signifikan dengan menyuguhkan pendekatan normatif yang berakar pada nilai-nilai ilahiyah dan realitas sosial.
Dalam perspektif sosiologi hukum, hukum tidak hanya dilihat sebagai produk teks, tetapi sebagai refleksi interaksi sosial. Cinta menjadi salah satu nilai fundamental dalam membangun kohesi sosial. Emile Durkheim menyebut cinta sebagai bagian dari solidaritas organik, yaitu hubungan sosial yang terikat oleh kesalingan. Dalam Islam, cinta adalah energi spiritual dan sosial, sebagaimana ditegaskan dalam hadis Nabi: “Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari-Muslim)
Al-Qur’an juga menegaskan pentingnya nilai kasih sayang dalam kehidupan sosial. Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang.” (QS. Ar-Rūm: 21)
Ayat ini menegaskan bahwa mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) adalah fondasi relasi manusia yang dikehendaki oleh Tuhan. Karenanya, kurikulum cinta bukan hanya mengajarkan perasaan, tetapi membentuk relasi sosial yang sehat: antara manusia dengan sesama, lingkungan, dan Tuhan.
Dalam kerangka maqāṣid al-sharīʿah, kurikulum cinta sejalan dengan tujuan utama syariat Islam: menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), akal, dan kehormatan. Pendidikan yang menyemaikan nilai cinta dapat menjadi benteng dari kekerasan, kebencian, dan diskriminasi, termasuk di institusi pendidikan. Konsep rahmah sebagai fondasi hubungan sosial dalam Islam dapat menjadi titik tolak dalam membangun sistem pendidikan yang melahirkan manusia paripurna.
Cinta dalam Islam tidak sekadar emosi personal, melainkan juga etika sosial yang memiliki nilai hukum ketika menciptakan keadilan dan maslahat. Sosiologi hukum Islam memandang bahwa hukum yang dipraktikkan tanpa pendekatan afeksi cenderung kehilangan sisi kemanusiaannya. Ketika cinta tidak hadir dalam proses pendidikan dan keluarga, yang muncul adalah kekosongan emosional yang berdampak pada perilaku menyimpang, meningkatnya kekerasan remaja, dan ketidakpekaan sosial.
Dalam konteks hukum keluarga Islam, cinta seharusnya menjadi fondasi dalam relasi suami istri, pengasuhan anak, hingga penyelesaian konflik rumah tangga. Sayangnya, pendekatan normatif sering kali mengabaikan dimensi afeksi ini, padahal maqāṣid al-sharīʿah menuntut keadilan dan kasih sayang sebagai tujuan hukum. Untuk itu, kurikulum cinta harus diintegrasikan ke dalam pembelajaran hukum Islam, khususnya pada program studi Hukum Keluarga Islam. Nilai cinta dapat dihadirkan melalui mata kuliah seperti Sosiologi Hukum Keluarga, Etika Sosial, dan Mediasi Keluarga. Mahasiswa diajak tidak hanya memahami norma hukum, tetapi juga menghidupkan keadilan melalui pendekatan empatik dan sosial.
Akhirnya, kurikulum cinta adalah kebutuhan mendesak dalam membangun karakter bangsa. Dalam masyarakat Indonesia yang plural, cinta menjadi jembatan integrasi sosial dan pilar penguatan relasi antaragama, budaya, dan kelas sosial. Dari perspektif sosiologi hukum Islam, cinta adalah kekuatan sosial yang melahirkan keadilan substantif dan relasi yang bermartabat.
Oleh karena itu, pendidik hukum Islam perlu menjadikan cinta sebagai fondasi nilai dalam pembelajaran. Hukum tanpa cinta akan menjadi kering dan kehilangan sisi kemanusiaannya. Sebagaimana sabda nabi: “Agama itu adalah cinta.” Maka mari kita mulai dari ruang kelas untuk menumbuhkan cinta sebagai dasar hukum dan kehidupan!