Korupsi makin canggih, oligarki makin rapi, hukum makin lentur, terutama bila bersentuhan dengan kekuasaan. Di tengah situasi politik dan ketatanegaraan yang kadang terasa seperti pertunjukan sinetron tanpa akhir, Kementerian Agama justru hadir membawa sesuatu yang sederhana, namun sangat mendasar: Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).
Awalnya saya tersenyum membaca frasa itu. “Cinta”? Dalam kurikulum? Di negara hukum? Tapi semakin saya renungkan, justru di situlah letak keberaniannya: menghadirkan nilai paling mendasar kemanusiaan ke dalam ruang paling strategis pembangunan bangsa, yaitu pendidikan.
Dan jika kita bersedia melihat lebih dalam, sebenarnya KBC adalah benih solusi jangka panjang bagi problem besar negara ini: korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, manipulasi hukum, dan erosi etika publik.
Negara Hukum Tanpa Kasih: Rapuh
Sebagai akademisi hukum tata negara, saya sering berbicara soal prinsip-prinsip konstitusionalisme, demokrasi, pembagian kekuasaan. Namun saya juga semakin sadar bahwa kerapuhan negara hukum kita bukan hanya karena kelemahan sistem, tapi karena hilangnya nilai dalam sistem itu sendiri.
Aturan bisa dibuat seketat mungkin, tapi jika ia ditegakkan oleh pribadi yang tidak berintegritas, hasilnya tetap nihil. Undang-undang bisa direvisi tiap lima tahun, tapi jika budaya penyimpangan dianggap wajar, maka hukum hanya jadi formalitas. Di sinilah letak relevansi Kurikulum Berbasis Cinta: ia bukan sekadar program pendidikan, tapi investasi nilai bagi republik yang sedang krisis keteladanan.
Cinta: Antitesis dari Korupsi dan Oligarki
Cinta yang dimaksud dalam KBC tentu bukan cinta dalam pengertian romantis. Ia adalah cinta sebagai kepedulian, empati, tanggung jawab, dan penghormatan pada martabat sesama. Jika ditanamkan sejak dini, cinta ini bisa menjadi antibodi moral terhadap kecenderungan merusak yang kini begitu dominan: tamak kekuasaan, serakah harta, dan culas dalam menjalankan amanah publik.
Korupsi pada dasarnya adalah tindakan memutus rasa cinta terhadap masyarakat. Oligarki tumbuh subur ketika cinta pada keadilan diganti cinta pada kekuasaan. Dan penyelewengan hukum terjadi karena hukum tidak lagi dijalankan dengan kasih sayang pada kebenaran.
Dalam konteks ini, KBC bisa menjadi gerakan nasional untuk menanamkan nilai yang menyehatkan ekosistem demokrasi kita. Ia mengajari anak-anak untuk tidak sekadar pintar, tapi juga peduli. Tidak sekadar tahu hukum, tapi mau hidup dengan etika. Tidak sekadar mengejar ranking, tapi juga menjunjung kejujuran.
Jika demokrasi kita ingin diselamatkan dari penggembosan oligarki, maka ia harus dibangun bukan hanya lewat pemilu lima tahunan, tapi lewat karakter warga negara yang tumbuh setiap hari di ruang-ruang kelas. Inilah yang disebut rekonstruksi konstitusional berbasis budaya pendidikan—di mana nilai konstitusi tidak hanya dibaca di sidang MK, tapi dihayati sejak bangku sekolah.
KBC menjadi langkah awal untuk membumikan nilai-nilai luhur Pancasila dan konstitusi ke dalam praksis kehidupan sehari-hari. Ia menjadikan kasih sayang bukan sekadar nilai personal, tapi nilai konstitusional.
Di tengah masyarakat yang mulai lelah, sinis, dan kehilangan harapan atas politik dan hukum, KBC justru membawa secercah optimisme. Bahwa perubahan bisa dimulai bukan dari gedung-gedung parlemen atau istana negara, tapi dari ruang kelas kecil di pelosok negeri. Dari guru yang mengajarkan empati, dari siswa yang belajar menyelesaikan konflik dengan cinta, bukan kekerasan. Dari anak-anak yang tumbuh bukan sebagai kompetitor, tapi sebagai penjaga nilai-nilai bersama.
Karena bangsa yang sehat bukan bangsa yang paling banyak aturan, tapi bangsa yang paling kuat nilai kebajikannya.
Maka dari itu, saya memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada Kementerian Agama atas keberanian dan kebijaksanaannya meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta. Ini bukan proyek pendidikan biasa, ini adalah proyek peradaban. Ia membawa pesan bahwa untuk menyelamatkan republik, kita tak hanya butuh pasal dan pasukan, tapi juga kasih sayang.
Karena ketika hukum kehilangan cinta, ia berubah jadi alat kekuasaan. Tapi ketika cinta mengilhami pendidikan, kita akan punya warga negara yang bukan hanya taat aturan, tapi juga cinta pada kebaikan bersama.