Skip to Content

Menyemai Substansi Kurikulum Cinta dalam Perspektif Hadis

Muhammad Jufri (Wakil Dekan II Fakultas Tarbiyah, IAIN Parepare)
July 24, 2025 by
Menyemai Substansi Kurikulum Cinta dalam Perspektif Hadis
Hamzah Aziz

Secara epistemologi keilmuan bahwa menanamkan cinta dalam kurikulum pendidikan tidak sekadar upaya menambah dan melakukan terapi akibat terjadinya stagnasi substansi materi atau bahkan sub materi pembelajaran dalam kurikulum. Ibaratnya hanya tidak hanya sebagai bumbu penyedap dalam proses belajar-mengajar. Namun lebih dari itu, sebagai  fondasi penting demi mencetak generasi berpribadi luhur yang berkarakter paripurna. Kurikulum sejatinya bahkan seharusnya tidak hanya memuat konten pengetahuan, tetapi juga memberikan ruang besar bagi pembiasaan nilai-nilai kemanusiaan. Salah satunya ialah menanamkan cinta yang sejati dan tertanam dalam sanubari peserta didik yang berlandaskan ajaran Rasulullah SAW., yang universal dan penuh makna dalam manaungi seluruh dimensi pendidikan yang ideal.

Salah satu hadis yang sangat relevan berbunyi:

أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا

وأَبْغَضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا

Cintailah sesuatu itu sekadarnya saja, karena boleh jadi di kemudian hari engkau akan membencinya. Dan bencilah sesuatu itu sekadarnya saja, karena boleh jadi suatu hari engkau akan mencintainya.” (HR. Tirmidzi).

Hadis ini mengajarkan bahwa cinta dalam pendidikan haruslah diletakkan secara proporsional. Jangan fanatik secara berlebihan, namun juga jangan anti dengan sesuatu secara mutlak. Cinta yang tumbuh di ranah pendidikan harus disertai dengan sikap bijak, seimbang, dan terbuka pada perubahan.

Hadits ini pula menjelaskan bahwa hendaknya seorang muslim dalam mencintai sesuatu tidak berlebihan karena Allah SWT memperingatkan hamba-hambanya menjadi hamba yang moderat dalam segala hal. Dalam potongan ayat QS. Al-Baqarah: 143 yang masyhur disebutkan  وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا (Dan demikianlah kami menjadikan kalian umat yang moderat). Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan termasuk dalam menuangkan rasa cinta dan rasa benci, takutlah pada suatu hari nanti keduanya akan berbalik dan pokok hadits tersebut sangat jelas peringatan tentang pentingnya sikap moderat.

Apabila dihubungkan dengan hadis di atas dengan kurikulum cinta, maka sangat jelas dan urgen membentuk karakter peserta didik agar mampu menyayangi dengan wajar, tidak memuja secara membabi buta dan berperilaku erotik dalam menyikapi substansi sebuah dimensi keilmuan, namun juga tidak sampai mudah membenci. Sebab sesungguhnya kehidupan dipenuhi perubahan. Sangat boleh jadi, orang, atau pelajaran yang tidak disukai saat ini justru menjadi hal yang dicintai kelak. Demikian pula sebaliknya. Maka proses pendidikan harus mengajarkan peserta didik untuk mengelola perasaan cinta dan benci dengan bijak dan dewasa.

Ajaran Islam yang universal mengarahkan dan mengajarkan umatnya bagaimana menempatkan rasa cinta dalam persahabatan yang baik diantara mereka, yang paling baik adalah siapa yang banyak memiliki rasa cinta terhadap sahabatnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مَا تَحَابَّ رَجُلانِ فِي اللَّهِ إِلا كَانَ أَحِبَّهُمَا إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَشَدُّهُمَا حُبًّا لِصَاحِبِهِ 

Tidaklah dua orang saling mencintai karena Allah kecuali yang paling besar rasa cintanya di antara keduanya adalah yang paling mulia. (HR. At-Tabrani)

Maraknya masalah krusial tentang rasa cinta dalam persahabatan biasanya banyak disebabkan oleh rasa tidak lapang dada, keras kepala tidak mau mendengar nasehat dan berburuk sangka. Indah nian lantunan do’a Nabi Allah Dawud ‘alaihissalaam tentang cinta:

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin”. Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alaihissalaam, beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Demikian halnya, hak-hak persahabatan dan persaudaraan harus tetap ditunaikan seperti memberi nasehat sekuat tenaga agar tetap dalam kebenaran dan masing-masing tetap menjaga dalam koridor kebenaran dan ini tidak termasuk dalam hal yang berlebihan (Adabud-Dunya Waddin). Oleh Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa nasehatilah diriku di kala sendiri jangan kau nasihati aku di tengah keramaian, karena nasihat di muka umum adalah bagian dari penghinaan yang tak suka aku mendengarnya.

Fenomena ringkihnya rasa cinta dalam persahabatan biasanya banyak disebabkan oleh rasa tidak lapang dada, keras kepala tidak mau mendengar nasehat dan berburuk sangka. Indah nian lantunan do’a Nabi Allah Dawud ‘alaihissalaam tentang cinta, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin”. Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alaihissalaam, beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Sebagai kongklusi bahwas inti pelajaran cinta di lembaga pendidikan bukan tentang romantika, tapi membiasakan sikap empati, toleransi, dan penghargaan pada perbedaan. Nilai-nilai itu harus dirasakan dalam keseharian, misalnya lewat kerja kelompok, membiasakan saling memberi salam, atau diskusi yang sehat meski berbeda pendapat. Tenaga pendidik harus menjadi guru kehidupan dengan menjadi contoh cara menyeimbangkan emosi, menanamkan cinta tanpa fanatisme atau kebencian buta.

Pesan Rasulullah saw. yang lain juga mendukung penguatan cinta dalam pendidikan:

“Tidak beriman salah satu dari kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menegaskan pentingnya membangun suasana penuh kasih, bukan sekadar ruang kelas sebagai tempat transfer ilmu. Sekolah, dengan dukungan kurikulum inklusif, seharusnya menjadi ladang bagi setiap siswa untuk mengembangkan rasa cinta yang siap menghadapi perubahan.

Perjalanan menanamkan cinta dalam kurikulum, bagi saya, adalah proses panjang, menuntut peran aktif dari semua pihak: guru, murid, hingga keluarga. Dengan bersandar pada spirit hadis, pendidikan tidak hanya mencetak siswa cerdas secara akademik, melainkan juga manusia berhati lapang yang siap menebar kebaikan, toleran, dan bijaksana dalam mencintai serta membenci sesuatu.

Menyemai Substansi Kurikulum Cinta dalam Perspektif Hadis
Hamzah Aziz July 24, 2025
Share this post
Archive