Skip to Content

Merdeka Belajar, Tapi Kampus Terjajah Akreditasi

Rusdianto Sudirman (Dosen HTN)
August 10, 2025 by
Merdeka Belajar, Tapi Kampus Terjajah Akreditasi
Suhartina

Setiap 17 Agustus, kita mengulang janji kemerdekaan, membebaskan bangsa ini dari belenggu yang menghambat kemajuan. Namun, di ruang-ruang perkuliahan , di balik papan pengumuman kampus, ada penjajahan baru yang diam-diam membentuk perilaku dan orientasi perguruan tinggi yaitu obsesi pada akreditasi dan publikasi.


Di atas kertas, akreditasi adalah instrumen untuk memastikan mutu pendidikan tinggi. Publikasi ilmiah adalah sarana menyebarkan pengetahuan. Keduanya tampak mulia. Tapi realitas di lapangan jauh dari ideal. Akreditasi tidak menjamin lulusan dapat di terima di dunia kerja, publikasi  scopus dan sinta tidak mampu menjadi rekomendasi ke pemerintah. Sistem ini telah berubah menjadi ritual administratif yang menguras energi dan memandulkan kreativitas akademik.


Bagi dosen, indikator kinerja yang dibentuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, BAN-PT, hingga LLDIKTI sering kali lebih seperti daftar belanja angka, berapa jurnal terindeks Scopus? Berapa sitasi? Berapa HKI? Alih-alih membangun kultur riset yang organik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, dosen didorong mengejar poin demi tunjangan atau kenaikan jabatan. Lingkungan akademik menjadi pasar koin dan angka.


Mahasiswa tak kalah terperangkap. Orientasi utama mereka adalah IPK tinggi, bukan pemahaman mendalam atau kapasitas kritis. Tugas-tugas kuliah dipandang sekadar memenuhi syarat kelulusan, bukan proses pencarian pengetahuan. Skripsi kerap menjadi proyek copy paste berjamaah, dibungkus rapi untuk sekadar lolos uji plagiasi.Ironisnya, semua ini dilakukan atas nama “mutu” dan “standar internasional.”


Padahal, mutu pendidikan tak bisa diukur semata dari indeks dan tabel. Pendidikan tinggi sejatinya adalah arena pembebasan pikiran bukan pabrik angka. Lebih ironis lagi, kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka yang semestinya memberi keleluasaan akademik justru kerap dibatasi oleh standar akreditasi yang kaku.


Kampus yang ingin bereksperimen dengan kurikulum, metode pengajaran, atau model riset sering kali tersandung pada “ketidakcocokan” dengan indikator BAN-PT. Akibatnya, inovasi dibunuh di meja administrasi.


Kita lupa, sejarah perguruan tinggi besar di dunia dibangun bukan dengan tumpukan borang, tapi dengan ekosistem intelektual yang subur. Oxford, Harvard, atau Tokyo University berkembang karena memberi ruang bagi dosen dan mahasiswa untuk berpikir bebas, mengkritik, dan berkolaborasi lintas disiplin bukan karena mereka patuh mengisi form akreditasi setiap lima tahun.


Bagi Indonesia, membebaskan perguruan tinggi berarti menata ulang cara kita mengukur kualitas. Akreditasi seharusnya menjadi alat refleksi, bukan alat kontrol. Publikasi ilmiah perlu diarahkan pada penyelesaian masalah nyata di masyarakat, bukan hanya perburuan impact factor. Mahasiswa perlu dinilai dari daya analisis, kreativitas, dan integritas akademiknya bukan sekadar IPK.


Sudah saatnya kita bertanya, apakah perguruan tinggi kita sedang mencetak intelektual merdeka atau hanya pekerja akademik yang patuh pada algoritma penilaian? Kemerdekaan sejati bukan hanya lepas dari kolonialisme politik, tapi juga dari kolonialisme birokrasi yang membelenggu pikiran.


Jika benar kita ingin perguruan tinggi merdeka, mulailah dengan mengembalikan akal sehat dalam pendidikan tinggi. Biarkan kampus menjadi rumah bagi perdebatan, penelitian yang jujur, dan pengabdian yang membumi. Bebaskan dosen dari perbudakan angka, bebaskan mahasiswa dari ilusi IPK. Karena bangsa yang merdeka lahir dari pikiran yang merdeka dan itu tak mungkin jika perguruan tinggi terus tersandera oleh sistem yang menukar kebebasan akademik dengan sertifikat akreditasi emas.


Merdeka Belajar, Tapi Kampus Terjajah Akreditasi
Suhartina August 10, 2025
Share this post
Archive