Hadirnya kurikulum berbasis cinta tidak sekadar menjadi slogan, melainkan tawaran paradigmatis dan praksis bagi arah baru pendidikan yang berpijak pada kasih sayang, toleransi, dan penghargaan terhadap keberagaman. Kurikulum ini dapat menjadi ruang etis baru dalam menjembatani antara norma spiritual dan etika sosial dalam pengelolaan sumber daya ekonomi umat. Di tengah menguatnya komersialisasi ilmu, pendidikan yang berorientasi pada nilai cinta dapat menjadi koreksi epistemologis atas pendekatan ekonomi yang cenderung kering dari nilai-nilai kemanusiaan.
Ekonomi dan keuangan syariah bukan semata sistem teknis berlandaskan halal dan haram, tetapi juga ruang aktualisasi nilai-nilai spiritual dan sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis. Nilai seperti keadilan (adl), kebersamaan (ta‘awun), kepedulian (rahmah), serta penolakan terhadap penindasan (zulm), seharusnya menjadi nafas utama dalam setiap aktivitas ekonomi umat.
Namun demikian, perkembangan ekonomi syariah dewasa ini tidak lepas dari kritik. Sebagian besar institusi keuangan syariah masih berkutat pada formalisme akad, lebih berfokus pada komoditas, dan terjebak pada replikasi sistem konvensional dalam bentuk yang ‘disyariahkan’. Maka, Kurikulum cinta dapat diaktualisasikan sebagai pendekatan normatif-etik untuk memperkuat kembali fondasi ruhaniah pendidikan ekonomi syariah.
Kurikulum cinta mengajarkan bahwa pendidikan bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi juga transformasi akhlak dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Ketika konsep ini diterjemahkan dalam ranah ekonomi, maka lahirlah satu pemahaman bahwa aktivitas ekonomi tidak cukup hanya berorientasi pada efisiensi atau pertumbuhan, tetapi harus dilandasi oleh kasih sayang, empati, dan keberpihakan terhadap kelompok yang rentan.
Kurikulum cinta adalah panggilan untuk kembali pada ruh pengembangan ekonomi syariah yang humanis, adil, dan welas asih. Kurikulum ini mendorong lahirnya paradigma baru yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga etik-substansial. Sebuah pendekatan yang selaras dengan falsafah lokal Bugis, yakni sipakatau, sipakalebbi, dan sipakainge. Ketiganya membentuk trilogi etika sosial yang saling menguatkan dalam membangun harmoni ekonomi, sosial, dan spiritual.
Bayangkan apabila konsep cinta menjadi dasar dalam kebijakan zakat, wakaf, dan distribusi dana sosial. Maka, pengelolaan ekonomi dan keuangan syariah tidak akan berhenti pada pengumpulan dan penyaluran semata, tetapi pada membangun relasi yang memanusiakan dan menyejahterakan. Setiap keputusan ekonomi dilandasi oleh kesadaran etik bahwa manusia bukan sekadar pelaku ekonomi (homo economicus), tetapi makhluk yang bertanggung jawab terhadap sesama dan alam.
Bukanlah sebuah langkah utopis ketika menyemai cinta dalam pengembangan ekonomi. Ia adalah ikhtiar rasional untuk menghidupkan kembali makna ekonomi sebagai sarana ibadah dan pemberdayaan umat. Meneguhkan Kurikulum cinta sebagai basis pengembangan keilmuan ekonomi syariah menjadi langkah strategis dan transformatif agar setiap teori, kebijakan, dan praktik yang kita bangun, lahir dari cinta hingga berbuah keadilan.