Isu santri berjalan merunduk di pesantren kembali menjadi bahan perdebatan setelah cuplikan sebuah acara televisi nasional beredar luas di media sosial. Tayangan itu memantik komentar, hujatan, hingga sinisme terhadap pesantren. Sekilas, protes publik tampak seperti pembelaan terhadap martabat manusia. Namun di balik hiruk-pikuk itu, ada masalah serius: kegagalan memahami tradisi melalui kacamata kebudayaan.
Kita hidup di zaman serba instan, termasuk dalam menarik kesimpulan. Tradisi pesantren mudah dicap feodal hanya karena simbol-simbol penghormatan dianggap tidak sesuai dengan standar masyarakat modern. Padahal, tradisi bukan sekadar tindakan fisik, tetapi ekspresi nilai yang lahir dari sejarah dan cara pandang hidup suatu komunitas.
Dalam khazanah pendidikan Islam, hubungan guru dan murid tidak pernah berdiri di atas relasi kuasa semata. Para ulama sejak dulu mengajarkan bahwa ilmu memiliki kehormatan, dan orang yang mengajarkannya memiliki kedudukan mulia. Karena itu, sikap hormat kepada guru dipandang sebagai bagian dari akhlak. Pesantren hanya melanjutkan tradisi ilmiah yang sudah berumur ratusan tahun itu.
Jika ditinjau dari sudut pandang ilmu sosial, praktik penghormatan di pesantren merupakan hasil internalisasi nilai secara kultural. Kebiasaan itu tumbuh karena pendidikan karakter dijalankan melalui keteladanan, bukan sekadar teori. Relasi yang terbangun pun bukan hubungan takut kepada otoritas, tetapi kepada adab.
Orang luar sering gagal memahami hal ini karena mereka menilai pesantren memakai logika yang berbeda. Di kota besar, relasi sosial diwarnai pola transaksional, guru dihormati karena peran profesionalnya. Di pesantren, relasi itu bersifat personal sekaligus spiritual, guru dihormati karena dianggap perantara cahaya ilmu. Itulah sebabnya santri mencium tangan kiai, berjalan menunduk, atau menjaga nada bicara ketika berbicara dengan guru. Semua itu bukan upaya merendahkan diri, tetapi cara memuliakan sumber ilmu.
Masalah muncul ketika tradisi ini diberi makna secara serampangan oleh media. Tanpa riset, tanpa wawancara dengan ahli, dan tanpa mempelajari konteks, fenomena kompleks seperti pesantren direduksi menjadi tontonan. Inilah yang berbahaya. Media seharusnya membantu masyarakat memahami realitas, bukan memperkeruhnya.
Ironisnya, tradisi ta’dzhim di pesantren sebenarnya sejalan dengan pendekatan pendidikan modern. Teori pendidikan karakter menekankan pentingnya contoh moral. Individu akan lebih mudah membangun akhlak jika melihat figur teladan. Pesantren melakukannya sejak dulu: yang diajarkan bukan hanya ilmu, tapi sikap, tanggung jawab, dan etika.
Kesalahpahaman publik terhadap pesantren adalah alarm bagi kita semua. Kita semakin kehilangan kesabaran kultural: ingin menilai sesuatu tanpa belajar memahaminya. Padahal, keberagaman budaya menuntut kerendahan hati intelektual, berani mengakui bahwa tidak semua tradisi bisa dipahami hanya dengan logika rasional modern.
Karena itu, perlu ada rekonsiliasi pemahaman. Media harus memperbaiki cara kerja peliputan kebudayaan; pesantren harus membuka diri terhadap dialog publik; dan masyarakat harus belajar membedakan antara kritik dan prasangka.
Tradisi tidak pernah lahir untuk dipertontonkan. Ia adalah cara sebuah komunitas menjaga harga diri moralnya. Maka sebelum menilai, barangkali kita perlu menata ulang cara membaca bahwa tidak semua yang berbeda dari kita layak dicurigai. Sering kali, yang kita butuhkan hanyalah satu sikap sederhana, yaitu berusaha mengerti sebelum berkomentar.